Duniaindustri.com (September 2015) – Deklarasi Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang ditandatangani oleh The Big Five Company dituding merusak harga di kalangan petani kelapa sawit. Aturan yang sangat ketat dalam IPOP menyulitkan petani untuk menjual TBS dan CPO ke lima perusahaan tersebut.
Lima perusahaan besar sawit atau lebih dikenal The Big Five Company diperkirakan menguasai 75%-90% perdagangan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Indonesia. Kelima perusahaan itu antara lain Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.
Kelima perusahaan sawit tersebut menampung hampir 90% seluruh tandan buah segar (TBS) dan CPO Indonesia, termasuk di dalamnya TBS dari 4,5 juta sawit rakyat. Kelima perusahaan itu diketahui mengadopsi IPOP.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad mendesak pemerintah agar memanggil perusahaan besar yang telah menandatangani kesepakatan IPOP tersebut untuk mencari solusi. “Sebab ini dampaknya sudah luar biasa. TBS petani di Aceh dan Padang Lawas (Sumatera Utara) tidak bisa masuk Wilmar lagi,” kata Asmar.
Lantaran tidak terserap di perusahaan besar itu, maka TBS petani itu dijual ke pabrik kelapa sawit (PKS) kecil untuk pasar lokal. “Ironisnya TBS tersebut dihargai sangat murah,” kata Asmar.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus tegas terhadap deklarasi IPOP. Dia menilai The Big Five Company yang menandatangani kesepakatan IPOP itu ditekan asing sehingga mereka tidak mau lagi membeli TBS petani.
Asmar mengusulkan kepada pemerintah agar mempercepat penerapan B-30. Tujuannya agar penyerapan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam negeri bisa lebih banyak, sehingga tidak tergantung pasar ekspor lagi.
Dampak buruk penerapan IPOP tidak hanya dirasakan petani saja. PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) yang memiliki kebun sawit di Kalteng juga menjadi korban penerapan IPOP ini.
“Kita juga kena,” ujar Senior Head Corporate Finance and Government Relation PT Sawit Sumbermas Sarana, Sunggu Situmorang.
Sebagai perusahaan yang sedang berkembang, Sawit Sumbermas melalui anak usahanya melakukan ekspansi penanaman kelapa sawit di lahan yang dimilikinya. Namun ekspansi tersebut dinyatakan melanggar aturan IPOP. “Padahal tidak ada satupun aturan pemerintah yang kami langgar. Pembukaan lahan kami telah sesuai prosedur,” kata Sunggu.
Sanksinya, semua CPO yang dihasilkan Sawit Sumbermas ditolak masuk ke The Big Five Company. ”Oleh karena itu pemerintah harus tegas terhadap manajemen IPOP. Aturan IPOP harusnya tidak boleh diterapkan di Indonesia, karena tidak sesuai dengan aturan yang sudah berlaku di Indonesia,” ujar Sunggu.
perusahaan yang menjadi korban IPOP adalah PT Mopoli Raya Group (MRG). Owner PT Mopoli Raya Group, Sabri Basyah mengungkapkan sejak tiga bulan lalu pihaknya tidak bisa lagi menjual CPO ke grup usaha Wilmar.
“Ketika itu kami membuka lahan di daerah Langsa, Aceh Timur. Pembukaan lahan ini dianggap melanggar kriteria IPOP, sehingga Wilmar yang selama ini menjadi mitra bisnis kami, tak mau lagi membeli CPO kami. Padahal CPO yang kami jual ke Wilmar tersebut bukan dari lahan di Langsa, karena lahan tersebut memang belum berproduksi,” kata Sabri Basyah.
Tentu saja Sabri sangat kecewa dengan perlakuan tersebut. Sebab pihaknya membuka lahan itu telah mengikuti semua aturan yang berlaku di Indonesia. “Tidak ada satupun peraturan pemerintah yang saya langgar, tapi kenapa kami dinilai melanggar aturan IPOP yang dibuat bangsa asing itu?,” katanya.
Oleh karena itu Sabri minta pemerintah bersikap tegas terhadap manajemen IPOP. “Ini kedaulatan kita telah diambil orang asing. Kita diinjak-injak orang asing. Ini penjajahan gaya baru. Karena mereka yang buat aturan itu. Dan kitalah yang menjadi korbannya,” tukas Sabri.
Menurut Sabri, sebenarnya agenda yang diusung Amerika melalui IPOP ini adalah tidak ada lagi ekspansi atau perluasan lahan kelapa sawit (zero growth palm oil) di Indonesia. Tapi Amerika membungkusnya dengan zero deforestationdengan membuat kriteria yang tidak mungkin diikuti oleh pelaku usaha di Indonesia.
Beberapa aspek atau kriteria yang diterapkan dalam IPOP antara lain (1) Melarang ekspansi kebun sawit (No deforestasi), (2) Melarang kebun sawit di lahan gambut (No Peatland), (3) Melarang kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (No HCS), dan (4) Melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability).
Dengan prinsip IPOP yang mencakup seluruh mata rantai (supply chain) perusahaan dan bersifat dapat ditelusuri. Ini berarti, kendati penandatanganan IPOP dilakukan oleh The Big Five Company, telah menyeret seluruh industri minyak sawit Indonesia ke dalam pasungan IPOP tersebut.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: