Latest News
You are here: Home | Umum | Deindustrialisasi, Antara Gejala dan Realita
Deindustrialisasi, Antara Gejala dan Realita

Deindustrialisasi, Antara Gejala dan Realita

Duniaindustri.com – Sudah menjadi konsensus umum jika dampak negatif implementasi perdagangan bebas Asean-Tiongkok (AC-FTA) kental terkait dengan deindustrialisasi. Itulah isu besar yang sedang hangat dibicarakan komunitas industri di Indonesia belakangan ini, Deindustrialisasi, Antara Gejala dan Realita.

Dimulai dari pernyataan Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang mengajak pemerintah, pengusaha, dan pemegang kebijakan lainnya untuk mewaspadai potensi munculnya deindustrialisasi, tema besar itu terus menggelinding.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyatakan ekonomi Indonesia bergerak ke arah deindustrialisasi karena tidak tumbuhnya pembangunan infrastruktur. Gubernur BI Darmin Nasution menuturkan industri berbasis sumber daya alam saat ini makin dominan. Sebaliknya industri yang benar-benar manufaktur itu lebih mengecil hal ini merupakan salah satu deindustrialisasi.

Namun, Menteri Perindustrian MS Hidayat langsung bereaksi. Menperin menegaskan bahwa ancaman deindustrialisasi di Indonesia tidak terbukti. Hal ini dibuktikan adanya kenaikan pertumbuhan industri pada kuartal I 2011 tumbuh 5,75%.

Terlepas dari pro dan kontra deindustrialisasi, sebenarnya tema besar ‘deindustrialisasi’ sudah lama terdengar di Indonesia. Dilihat dari sejarahnya, sejak krisis moneter di Asia 1997-1998, gejala deindustrialisasi dinilai mulai tampak.

Pada 2004, Bank Dunia melansir bahwa sejak 2003 daya saing Indonesia dalam pergumulan industri antar-bangsa yang memperlihatkan adanya anomali. Di satu sisi, terjadi peningkatan daya saing ekspor komoditas Indonesia di pasar dunia. Tetapi di lain sisi, industri tekstil dan sepatu di Indonesia banyak yang gulung tikar saat itu. Padahal, dua industri ini merupakan salah satu variabel penentu kemampuan Indonesia menembus pasar ekspor.

Fakta itu memicu asumsi bahwa periode 1997-2004 Indonesia dihadapkan dengan problema pergeseran orientasi ekspor, dari yang sebelumnya bertumpu pada manufaktur menjadi terfokus pada komoditas primer.

Peristiwa besar selanjutnya adalah krisis moneter global 2007-2008 yang sempat membuat industri nasional limbung. Dan terakhir, pemberlakuan ACFTA pada 2010 semakin menyulitkan peran industri manufaktur terhadap perekonomian nasional. Membanjirnya produk impor dari China di sejumlah sektor industri (mainan anak, tekstil, elektronik, sepatu, makanan minuman) dituding memperarah gejala deindustrialisasi di Indonesia.

Istilah populer

Dalam peristilahan yang sangat populer, deindustrialisasi dilukiskan sebagai ‘the decline in the contribution made by manufacturing industry to a nation’s overall economic prosperity’. Deindustrialisasi merupakan kenyataan yang sangat keras tatkala industri manufaktur sudah tak lagi mampu berperan sebagai basis terciptanya kemakmuran suatu bangsa.

Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan secara relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, serta-merta industrialisasi memasuki fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi.

Dampak lanjutannya, pengangguran tampil sebagai realitas paling mengerikan dari deindustrialisasi, yaitu akibat kian lumpuhnya industri manufaktur berperan sebagai penyedia lapangan kerja. Apa yang penting diungkapkan di sini adalah ini: setiap negara sesungguhnya rentan terhadap ancaman deindustrialisasi.

Hanya saja, lahirnya terobosan-terobosan cerdas memungkinkan terjadinya re-industrialisasi. Ini semua terkait dengan genealogi persoalan bahwa industrialisasi bermula dari berlangsungnya transformasi untuk membawa masuk sektor primer ke dalam proses lebih lanjut (hilir) dalam kerangka industri manufaktur. Sebab, industri hilir lebih memberikan nilai tambah yang besar bagi penyerapan tenaga kerja, devisa ekspor, serta manfaat lainnya.

Tanpa dukungan
Sebenarnya upaya pemerintah menggaungkan konsep ‘hilirisasi’ (pengembangan terarah industri hilir sumber daya alam) cukup tepat diterapkan mulai 2011 untuk melawan gejala deindustrialisasi. Namun, konsep itu baru di atas kertas, tanpa dukungan yang memadai. Rencana penerapan tax holiday yang diharapkan bisa mendongkrak investasi di industri hilir masih menggantung.

Di sisi lain, industri justru dihadapkan pada hambatan klasik yang makin kronis, seperti infrastruktur minim, keterbatasan listrik, defisit pasokan gas, kongesti di pelabuhan.

Ketua Kadin Indonesia Bambang Sulisto merekomendasikan pemerintah mempercepat pembenahan hambatan iklim industri di Indonesia. “Kalau iklim di sini semakin berat, sulit dan semakin tidak kompetitif, justru dengan sendirinya akan terjadi deindustrialisasi,” ujarnya.

Kadin berharap pemerintah dapat menjaga iklim industri dan mendukung sepenuhnya pertumbuhan industri manufaktur nasional. “Sisi produksi harus diperkuat dan jangan sampai terjadi deindustrialisasi. Itu semua menjadi pemikiran Kadin,” tuturnya.(Tim redaksi 01/berbagai sumber, diolah redaksi duniaindustri.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top