Duniaindustri.com (Maret 2014) — Defisit pasokan timah secara global diperkirakan terus membesar sejak 2011-2016 seiring penurunan produksi di sejumlah negara produsen utama, sementara konsumsi terus bertumbuh. Pada 2014, defisit pasokan timah diperkirakan 13,3 ribu ton, naik 11,7% dari 2013 sebesar 11,9 ribu ton.
Menurut riset sejumlah perusahaan termasuk dari RHB OSK Securities, pada 2014 defisit pasokan timah akan mencapai 14 ribu ton, tertinggi dalam empat tahun terakhir. Defisit yang mulai terjadi tahun lalu disebabkan produksi tidak mampu memenuhi total konsumsi.
Tahun lalu produksi timah global mencapai 349,5 ribu ton, yang berasal terutama dari China 158,5 ribu ton dan Indonesia 63 ribu ton. Sementara konsumsi global tahun lalu sudah mencapai 361,3 ribu ton, terutama berasal dari China 169,2 ribu ton, Amerika Serikat 29,2 ribu ton, dan Jepang 28,2 ribu ton. Keseimbangan pasokan dan konsumsi di China sangat tipis pada tahun lalu dan diperkirakan menjadi defisit tahun ini.
Konsumsi timah China pada 2014 naik menjadi 177,7 ribu ton, sementara produksi negara Tirai Bambu itu hanya 168 ribu ton. Hal ini ikut memperparah kondisi defisit pasokan timah di dunia. Seiring dengan pasokan timah yang cenderung defisit, harga komoditas tersebut diperkirakan naik dari rata-rata US$ 22.270 per ton di 2013 menjadi US$ 23.375 per ton.
Defisit pasokan timah di dunia juga disebabkan penurunan produksi di Indonesia, yang berkontribusi sekitar 22% terhadap pasokan global. Produksi timah di Indonesia turun 21% pada 2013, seiring revisi kebijakan perdagangan dan aturan baru ekspor pada 2013. Selain Indonesia, produksi timah di Malaysia juga turun -13,6%, Peru (-6,1%), dan Bolivia (-7,6%).
Indonesia saat ini berpengaruh sekitar 28% terhadap total ekspor timah secara global. Jika mengecualikan China, Indonesia berkontribusi hingga 50% dari total produksi timah global, memberikan peran signifikan terhadap pasar global. Harga timah secara konstan naik sejak akhir 2013, terutama saat Indonesia berupaya untuk membatasi ekspor timah. Upaya itu dilakukan untuk mendorong harga dan mengontrol penambangan ilegal di Indonesia.
Dari 12 tahun terakhir, Indonesia sudah mengimplementasikan sejumlah kebijakan untuk mengontrol ekspor timah. Kebijakan terbaru dilakukan pada Juli 2013, saat Indonesia melarang ekspor timah ingot dengan tingkat pengolahan kurang dari 99,9%. Pada Agustus 2013, Indonesia menerapkan mandatori untuk ekportir timah untuk bertransaksi di Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) sebagai upaya menutup penambangan ilegal dan mendongkrak harga di pasar internasional menjadi US$ 25.000 per ton.
Produksi timah Indonesia per tahun mencapai 100.000 ton-120.000 ton per tahun dan menguasai 40% pasokan timah dunia. “Dengan adanya undang-undang yang mengatur perdagangan timah melalui bursa timah nasional, diharapkan tidak akan terjadi lagi penjualan di bawah harga pokok, sehingga proyeksi bahwa Indonesia menjadi penentu harga timah bisa terealisasi,” kata Direktur Utama PT Timah (Persero) Tbk Sukrisno.
Menurut Sukrisno, kemungkinan Indonesia menjadi penentu harga timah dunia cukup besar karena di samping sebagai salah satu produsen terbesar, negara ini juga menjadi pengekspor terbesar yang memunuhi kebutuhan timah dunia. Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, harga timah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari US$ 19.000 per ton menjadi US$ 23.000 per ton.
“Kami lebih memilih menjual 15 ton timah dengan harga US$ 30.000 per ton, dibanding menjual 30 ton dengan harga US$ 15.000 per ton. Penghasilan yang diterima perusahaan memang sama namun berbeda dalam jumlah timah yang diperdagangkan,” tambah Sukrisno.
Di Atas Ekspektasi
Di atas ekspektasi, PT Timah (Persero) Tbk (TINS) mencatat laba bersih tahun buku 2013 sebesar Rp515,102 miliar, naik 19% dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya senilai Rp431,589 miliar. Efisiensi mendorong kenaikan laba bersih tersebut.
“Peningkatan laba bersih perseroan pada tahun 2013 antara lain disebabkan perbaikan sistem dan efisiensi,” kata Sekertaris Perusahaan PT Timah Tbk, Agung Nugroho, dalam keterangan tertulis.
Dia mengemukakan pemberlakuan PerMenDag No. 32/2013 yang mengharuskan perseroan melakukan penjualan logam baloknya melalui satu pintu yaitu Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia diyakini akan memberikan dampak positif terhadap keberlangsungan usaha penambangan di dalam negeri serta dapat mendongkrak harga timah dunia mengingat Indonesia sebagai eksportir terbesar di dunia.
“Tidak salah bila Indonesia mendeklarasikan tahun 2014 sebagai tahun kebangkitan pertimahan Indonesia dan tahun 2015 Indonesia sebagai penentu harga timah dunia namun dengan syarat semua pelaku usaha penambangan, baik regulator, pelaku usaha dan masyarakat penambangan mendukung terlaksananya good mining practices,” paparnya.
Menurut dia, kebijakan penjualan satu pintu dengan pengaturan eskpor logam volume Indonesia pada level 60.000-70.000 per tahun, perseroan memprediksi harga logam 2014 akan lebih baik dibandingkan tahun 2013.
“Harga diperkirakan bergerak di kisaran rata-rata US$ 26.000 per ton,” kata dia.
Dalam laporan keuangan 2013 disebutkan, PT Timah Tbk membukukan pendapatan usaha sebesar Rp5,852 triliun pada 2013 atau turun 20,52% dibanding tahun sebelumnya Rp7,363 triliun.
Namun, beban pokok pendapatan 2013 menurun menjadi Rp4,408 triliun dari sebelumnya Rp6,087 triliun pada 2012. Laba bruto perseroan tahun 2013 mencapai Rp1,443 triliun atau naik dibandingkan 2012 sebesar Rp1,275 triliun.
Total aset perseroan naik sebesar 28,59 menjadi Rp7,883 triliun pada 2013 dibandingkan posisi tahun sebelumnya sebesar Rp6,130 triliun.(*/berbagai sumber)