Duniaindustri (Februari 2012) – Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 1,22 triliun untuk program restrukturisasi mesin industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Dana tersebut diperkirakan dapat membantu peremajaan mesin produksi sekitar 600 perusahaan.
“Kami memberikan bantuan berupa potongan harga mesin bagi perusahaan-perusahaan yang sedang merestrukturisasi mesin,” kata Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun.
Alex menegaskan, tambahan investasi peremajaan mesin akan menarik 13 ribu tenaga kerja baru di sektor TPT nasional. Selain itu, kapasitas terpasang meningkat 17-28 persen dan produktivitas naik 7-17 persen. Adapun penggunaan energi di sektor TPT dapat terpangkas 6-18 persen.
Alex menerangkan, Kementerian Perindustrian selama 2010-2014 menargetkan menyalurkan dana bantuan senilai Rp1,2 triliun untuk 600 perusahaan TPT. Kementerian Perindustrian memproyeksikan kebutuhan investasi industri TPT hingga 2014 mencapai Rp172 triliun.
Program restrukturisasi mesin itu diharapkan membantu daya saing dan produktivitas industri TPT nasional. Indonesia berambisi menjadi salah satu raksasa produsen tekstil dunia dengan nilai devisa ekspor sekitar US$ 19 miliar atau Rp 171 triliun pada 2015. Saat ini industri tekstil dan produk tekstil (TPT) RI menjadi raksasa peringkat 9 terbesar dunia untuk garmen (hilir), sedangkan di tekstil (hulu) peringkat 11 dunia. Industri TPT nasional memiliki jumlah mesin pemintal benang terbesar keempat di dunia, 7,85 juta mata pintal.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, pada 2010 ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia mencapai US$ 11,21 miliar, naik 21% dibanding 2009. Dari nilai itu, ekspor TPT Indonesia menguasai 1,67% pangsa dunia, 4,55% pangsa pasar di Amerika Serikat, dan 1,28% pangsa di Uni Eropa.
Industri TPT nasional saat ini merupakan sektor manufaktur dengan penyerapan tenaga kerja yang terbesar sekitar 1,84 juta orang. Industri TPT menyerap tenaga kerja 15% dari total penyerapan pekerja di sektor manufaktur nasional. “Bahkan, saat krisis global tahun lalu, ekspor TPT masih mampu meraih surplus lebih dari US$ 6 miliar,” katanya.
Dia menjelaskan, dengan struktur industri yang hampir lengkap, tingkat kandungan dalam negeri untuk produk TPT nasional mencapai 66%. “Ini memperlihatkan kekuatan dan kedalaman struktur industri TPT telah mapan,” katanya.
Namun, sebelum menjadi raksasa tekstil dunia, sejumlah masalah perlu dibenahi untuk mendukung pengembangan industri TPT nasional. Salah satu masalah itu adalah bahan baku tekstil yakni kapas masih diimpor sekitar 99,5%. Kapas menjadi salah satu bahan baku tekstil dengan kontribusi terbesar yakni 38%, disusul serat poliester (produk turunan minyak) dan serat rayon (produk turunan kayu/pulp).
Asosiasi telah menyusun roadmap pengembangan industri TPT nasional. Dalam roadmap itu disebutkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional membutuhkan investasi tambahan sebesar Rp 60 triliun untuk mencapai visi 2015. “Dalam lima tahun ke depan, ekspor TPT nasional diprediksi menguasai 2,9% pangsa pasar dunia, 88% pangsa pasar domestik, dan 16% pangsa pasar Asean,” tuturnya.
Total perdagangan TPT dunia mencapai US$ 583 miliar pada tahun lalu. Dari nilai itu, Tiongkok dan Hong Kong menguasai pangsa 36,6%, disusul Turki (3,91%), India (3,28%), AS (2,87%), Korea (2,11%), Pakistan (1,92%), dan Indonesia (1,67%).
Produsen TPT nasional harus mampu bersaing di dua pasar ekspor utama, yakni Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di pasar Amerika Serikat, industri TPT nasional berada di peringkat lima pemasok utama. Tiongkok mendominasi impor tekstil AS dengan pangsa 35%, kemudian Vietnam (5,82%), India (5,44%), Meksiko (5,31%), dan Indonesia (4,55%).
Pasar tekstil AS setara dengan 25% dari total perdagangan TPT dunia senilai US$ 93,18 miliar. Indonesia harus melampaui Vietnam, India, dan Meksiko untuk menjadi pemain utama di AS, selain Tiongkok.(Tim redaksi 01)