Duniaindustri.com (Juni 2014) — Total dana kelolaan (asset under management/AUM) reksadana hingga lima bulan pertama tahun ini mencapai Rp200,70 triliun, menurut Otoritas Jasa Keuangan. Jumlah itu naik sekitar Rp690 miliar dibanding posisi akhir April sebesar Rp200,01 triliun.
Naiknya dana kelolaan reksa dana hingga akhir Mei 2014 didukung naiknya jumlah unit penyertaan. Pada bulan lalu, jumlah unit penyertaan reksa dana naik sekitar 780 juta menjadi 124,24 miliar dibanding posisi bulan sebelumnya sebanyak 123,46 miliar.
Dari dana kelolaan reksa dana hingga akhir bulan lalu, mayoritas masih dikontribusi dari reksa dana saham. Dana kelolaan reksa dana berbasis saham tercatat mencapai Rp86,29 triliun atau 42,69% dari total dana kelolaan reksa dana. Sedangkan, reksa dana terproteksi mengontribusi 20,49% atau senilai Rp41,42 triliun.
Posisi ketiga adalah reksa dana pendapatan tetap senilai Rp30,01 triliun atau sekitar 14,85%. Reksa dana campuran membukukan dana kelolaan sebesar Rp18,36 triliun atau 9,09% terhadap keseluruhan dana kelolaan. Reksa dana pasar uang mencatat dana kelolaan senilai Rp14,47 triliun atau 7,16% dan reksa dana indeks Rp411,54 miliar atau 0,20%.
Reksa dana syariah berbasis campuran mencatat dana kelolaan sebesar Rp4,10 triliun atau 2,03%, reksa dana syariah berbasis terproteksi sebesar Rp1,12 atau 0,56%, reksa dana syariah berbasis saham Rp2,83 triliun atau 1,40%. Reksa dana syariah berbasis indeks sebesar Rp158,29 miliar atau 0,08%, reksa dana syariah berbasis pendapatan tetap Rp480,61 miliar atau 0,24% dan reksa dana syariah pasar uang sekitar 0,12% atau Rp231,36 miliar.
Dan dana kelolaan exchange trade fund (ETF) pendapatan tetap Rp1,74 triliun atau 0,86%, ETF Saham Rp363,69 miliar atau 0,18% dan ETF Indeks senilai Rp130,89 miliar atau 0,06% dari total dana kelolaan reksa dana.
Sejalan dengan kenaikan dana kelolaan reksadana di Indonesia, dana panas (hot money) dari investor asing yang masuk ke pasar saham Indonesia, dilihat dari aksi beli (net buy), telah mencapai Rp 41,84 triliun sejak awal 2014, termasuk dalam rekor untuk lima bulan pertama. Begitu juga di pasar obligasi yang mencatatkan Rp 390,57 triliun.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), asing telah mencatatkan beli bersih (net buy) Rp 41,84 triliun sejak awal tahun hingga seminggu sebelum akhir Mei. Angka ini merupakan rekor tertinggi hot money atau dana panas sepanjang sejarah.
Kepala Riset HD Capital Yuganur Wijanarko menilai sentimen politik membuat asing memborong saham di Indonesia. Faktor lain pendorong aksi beli asing adalah kinerja semester I/2014 yang akan membaik dibanding kuartal I. Para analis memproyeksikan dana asing masih membanjiri pasar modal di Indonesia.
Meski demikian, duniaindustri.com menilai, para pemodal saham mesti lebih berhati-hati dalam bertransaksi beli atau jual di bursa saham mengingat fluktuasi yang akan terjadi terutama di saat pemilihan umum akan lebih tajam dibanding kondisi normal. Penguatan ataupun penurunan tajam akan lebih mewarnai pergerakan bursa, dikaitkan dengan sentimen pemilu presiden yang sedang berlangsung.
Selain itu, sentimen dari sisi makroekonomi sebenarnya masih dihantui sejumlah faktor negatif, seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, perlambatan pertumbuhan sektor properti, kenaikan tarif dasar listrik yang membebani emiten, serta tekanan inflasi menjelang bulan puasa dan Lebaran. Dan jangan lupa pameo ‘sell on may and go away’ juga masih dapat terjadi di bursa saham, jika para pemodal tidak ekstra waspada.
Apalagi sejak November 2013 hingga Mei 2014, indeks harga saham gabungan (IHSG) cenderung dalam tren naik dan belum terjadi koreksi profit taking yang signifikan.
Meski demikian, sejumlah faktor masih menjadi sentimen positif pergerakan IHSG ke depan, seperti kestabilan politik dan keamanan Indonesia yang lebih baik dibanding sejumlah negara tetangga di ASEAN (Thailand terjadi kudeta militer dan Vietnam aksi anti-China), positifnya pertumbuhan ekonomi meski melambat, pertumbuhan masyarakat kelas menengah yang kuat, serta cadangan devisi yang relatif kuat.
Pada awal tahun ini, sejumlah analis menilai Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 2014 diprediksi tumbuh lebih tinggi dibandingkan 2013, meski masih dipengaruhi oleh beberapa isu penting di dalam negeri yaitu neraca perdagangan, transaksi berjalan, nilai tukar rupiah, dan pemilu. Sedangkan sentimen dari luar negeri masih seputar rencana pengurangan stimulus moneter (tapering off) di Amerika Serikat (AS).
Kalangan analis pasar modal optimistis IHSG tahun ini mampu menembus level 5.000, bahkan bisa mencapai level 5.200-5.300. Sementara pada tutup tahun 2013 perdagangan saham di Indonesia terkoreksi 1% di level 4.274 poin dari akhir 2012 di level 4.316.
Dengan prediksi tersebut, maka pertumbuhan IHSG hingga akhir 2014 bisa mencapai 22%-23%. Pertumbuhan IHSG tahun ini yang lebih tinggi bakal ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang masih bagus. Bahkan, pemilu diyakini bisa menambah pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2-0,3%.
Selain itu, defisit transaksi berjalan, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan membaik. Sedangkan suku bunga acuan (BI rate) diperkirakan turun dan laba emiten diproyeksi tumbuh 16%-18%.(*/berbagai sumber)
Para pemodal saham mesti lebih berhati-hati dalam bertransaksi beli atau jual di bursa saham mengingat fluktuasi yang akan terjadi terutama di saat pemilihan umum akan lebih tajam dibanding kondisi normal. Penguatan ataupun penurunan tajam akan lebih mewarnai pergerakan bursa, dikaitkan dengan sentimen pemilu presiden yang sedang berlangsung.
Selain itu, sentimen dari sisi makroekonomi sebenarnya masih dihantui sejumlah faktor negatif, seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, perlambatan pertumbuhan sektor properti, kenaikan tarif dasar listrik yang membebani emiten, serta tekanan inflasi menjelang bulan puasa dan Lebaran. Dan jangan lupa pameo ‘sell on may and go away’ juga masih dapat terjadi di bursa saham, jika para pemodal tidak ekstra waspada.
Apalagi sejak November 2013 hingga Mei 2014, indeks harga saham gabungan (IHSG) cenderung dalam tren naik dan belum terjadi koreksi profit taking yang signifikan.
Meski demikian, sejumlah faktor masih menjadi sentimen positif pergerakan IHSG ke depan, seperti kestabilan politik dan keamanan Indonesia yang lebih baik dibanding sejumlah negara tetangga di ASEAN (Thailand terjadi kudeta militer dan Vietnam aksi anti-China), positifnya pertumbuhan ekonomi meski melambat, pertumbuhan masyarakat kelas menengah yang kuat, serta cadangan devisi yang relatif kuat.