Duniaindustri (April 2011) – Sepanjang 2010, omzet penjualan makanan minuman di Indonesia mencapai Rp 605 triliun. Itu berarti, omzet penjualan makanan minuman di negeri ini dalam satu bulan mencapai Rp 50,4 triliun. Lebih kecil lagi, omzet penjualan makanan minuman di Indonesia dalam satu hari mencapai Rp 1,68 triliun. Angka yang fantastis untuk negeri dengan penduduk 235 juta jiwa.
Data Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) menunjukkan, tren pertumbuhan industri makanan dan minuman dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Volume penjualan di tahun 2007 mencapai Rp 383 triliun, di tahun 2008 mencapai Rp 505 triliun, di tahun 2009 mencapai Rp 555 triliun dan di tahun 2010 mencapai Rp 605 triliun.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman menjelaskan, kinerja sektor industri makanan dan minuman Indonesia di tahun 2010 masih menunjukkan pertumbuhan walaupun diiringi bayang-bayang penurunan tingkat daya saing dibanding dengan produk mamin impor.
Industri makanan, minuman, dan tembakau masih menjadi cabang yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan industri nasional. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa di tahun 2010 industri makanan minuman dan tembakau memberikan kontribusi sebesar 34,35% atas pertumbuhan industri nasional non-migas.
Ironisnya, meski industri makanan dan minuman merupakan salah satu kontributor terbesar dalam pertumbuhan, masih banyak faktor termasuk kebijakan pemerintah yang masih belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri makanan dan minuman itu sendiri. Sementara ancaman dari produk impor terus bertambah sejalan dengan integrasi perekonomian Indonesia dengan perekonomian regional dan global.
Total nilai impor produk makanan minuman periode Januari – November 2010 menunjukkan peningkatan sebesar 22,95% dibanding periode yang sama di tahun 2009, dengan negara asal impor terbesar dari Malaysia, Cina, Thailand, Singapura, dan Amerika Serikat.
Tantangan industri makanan dan minuman di tahun 2011 antara lain belum sinerginya peraturan perpajakan dan retribusi terkait dengan dukungan terhadap pertumbuhan industri makanan dan minuman. Dengan masuknya Indonesia menjadi bagian integral perekonomian regional dan dunia melalui berbagai perjanjian bilateral dan multilateral, produk-produk jadi makanan dan minuman dari negara-negara mitra hanya dikenakan bea masuk yang relatif kecil yaitu antara 0%-5%.
Selain itu, kebijakan energi nasional masih belum mendukung pertumbuhan industri domestik, khususnya terkait tarif dasar listrik dan kesediaan pasokan gas. Pemanfaatan gas bumi untuk dalam negeri hanya 53%, dan ekspor 47%. Sedangkan penggunaan gas pada industri makanan dan minuman adalah sebesar 7% dari kebutuhan nasional. Kebutuhan gas untuk industri mencapai 801 MMSCFD, sementara pemerintah hanya mengalokasi sebesar 583 MMSCFD.
Salah satu tantangan lainnya adalah minimnya infrastruktur jalan, dilihat dari jumlah dan kualitasnya, pelabuhan, jaringan listrik atau pipa gas sehingga menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi para pelaku industri di Indonesia. Tidak seimbangnya pertumbuhan infrastruktur jalan dengan pertumbuhan kendaraan menyebabkan kemacetan di seluruh daerah yang berakibat menyebabkan distribusi menjadi terhambat dan menimbulkan biaya tinggi.
Hal itu mengakibatkan tingginya biaya tranportasi di Indonesia yang diperparah dengan terus adanya pungutan liar. Sebagai contoh, untuk mengangkut barang dari Warsawa (Polandia) ke Hamburg (Jerman) dengan jarak 750 km, biayanya adalah ½ dari ongkos pengiriman barang dari Makassar ke Enrekang di Sulawesi yang hanya berjarak 240 km. Dari hasil penelitian Olken dan Barron, 2007 ditemukan bahwa truk yang menempuh rute Banda Aceh-Medan harus mengeluarkan US$ 40 sekali jalan, atau sekitar 13% dari total biaya perjalanan, untuk suap dan uang keamanan.(Tim redaksi/03)