Latest News
You are here: Home | Farmasi | Dalam Sebulan, Penjualan Obat di Indonesia Rp 3,33 Triliun
Dalam Sebulan, Penjualan Obat di Indonesia Rp 3,33 Triliun

Dalam Sebulan, Penjualan Obat di Indonesia Rp 3,33 Triliun

Duniaindustri (Juni 2011) –  Tahukah Anda berapa penjualan obat di Indonesia dalam satu bulan? Ternyata penjualan obat di Indonesia cukup besar, bahkan menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Penjualan obat di Indonesia pada tahun ini ditaksir mencapai US$ 4,44 miliar atau Rp 39,96 triliun.

Chairman International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) Lutfi Mardiansyah mengatakan, penjualan obat (farmasi) nasional pada 2011 diperkirakan naik 11% dibandingkan 2010 sebesar US$ 4 miliar. Dari nilai pasar obat US$ 4 miliar, sekitar US$ 2,4 miliar merupakan nilai penjualan obat etikal (dengan resep dokter) dan US$ 1,6 miliar obat bebas (over the counter/ OTC). Obat etikal mewakili 60% dari total pasar, sedangkan 40% sisanya obat OTC.

International Pharmaceutical Manufacturer Group merupakan asosiasi perusahaan farmasi asing di Indonesia yang beranggotakan 24 prinsipal farmasi asing. Sebanyak 12 di antaranya tidak mempunyai fasilitasi produksi di Indonesia. Perusahaan anggota IPMG, dalam lima tahun terakhir, menikmati sekitar 25-30% dari total penjualan obat di Indonesia.

Namun, pantauan tim redaksi duniaindustri menunjukkan, perbedaan harga obat generik dengan obat bebas sangat mencolok, atau ibarat langit dan bumi. Ambil contoh obat penurun panas untuk anak, harga obat generik merek Parasetamol hanya Rp 6.000 per botol, sedangkan harga obat bebas merek Tempra Paracetamol Rp 32.000 per botol (sirup) dan Rp 36.000 per botol (drop).

Perbedaan harga obat penurun panas antara obat generik dan bebas bisa mencapai 500-600% di tingkat ritel. Konsumen cenderung membeli obat resep karena pengaruh merek yang kuat serta rendahnya pengetahuan terhadap obat generik.

Tantangan Asing
Lutfi menilai, industri farmasi asing di Indonesia selama ini menghadapi tantangan terkait aturan Daftar Negatif Indonesia (DNI) yang menetapkan kepemilikan modal asing maksimal 75% dan 25% oleh modal dalam negeri.

“Anggota IPMG merupakan industri berbasis riset. Sekitar 20% dari pendapatan kami alokasikan untuk riset. Kerahasiaan riset tentu harus kami jaga. Jika diharuskan berpartner dengan perusahaan lokal, tentu akan ada kendala soal penjagaan rahasia itu,” jelas Lutfi.

Selain itu, produsen farmasi asing juga terbentur Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1010/2008 tentang Registrasi Obat. Dalam aturan itu, industri farmasi asing yang tidak memiliki fasilitas produksi di Indonesia tidak diizinkan mengimpor obat.

Kondisi itu, kata Lutfi, menyulitkan keberadaan 12 perusahaan anggota IPMG yang tidak mempunyai pabrik di Indonesia. Persoalan lain, lanjut dia, terkait kepastian hukum persaingan usaha yakni langkah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dinilai berperan melebihi wewenang. Termasuk, ujar dia, pengertian kartel dalam Undang-Undang (UU) No 5/1999 tentang Antimonopoli.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesi (Apindo) Sofjan Wanandi. “Sektor ini tidak diperhatikan. Padahal, sangat penting. Tapi, masih ada pertentangan investasi oleh dalam dan luar negeri. Iklim investasi negatif. Asing takut karena tidak ada proteksi,” kata Sofjan. (Tim redaksi 02)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top