Duniaindustri.com (Desember 2015) – Pasar modal memang tidak lepas dari berbagai kejutan. Bayangkan saja, dalam 36 hari ada salah satu saham yang mampu mencatatkan kenaikan harga hingga 140%. Wow.
Namun, setelah kenaikan harga yang fantastis tersebut, Otoritas Bursa Efek Indonesia melakukan penghentian sementara (suspend) perdagangan saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP).
Kadiv Pengawasan Transaksi BEI, Irvan Susandy, dalam keterbukaan informasi, mengatakan suspend dilakukan sehubungan dengan peningkatan harga kumulatif yang signifikan pada saham Inti Agri Resources sebesar Rp1.240 per saham atau 139,33%.
“Peningkatan ini dari harga penutupan Rp890 per saham pada 12 November 2015 menjadi Rp2.130 per saham pada 18 Desember 2015,” kata Irvan.
Suspend tersebut dilakukan dalam rangka cooling down pada perdagangan 16 Oktober 2015. “Penghentian sementara perdagangan saham ini dilakukan baik di pasar reguler maupun tunai mulia sesi I hari ini sampai pengumuman bursa lebih lanjut,” paparnya.
Bursa juga mengimbau kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk selalu memperhatikan keterbukaan informasi yang disampaikan perseroan.
Outlook 2016
Kinerja return pasar saham di lima negara ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina, melemah hingga akhir November 2015. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Indonesia turun -14,93% hingga akhir November 2015, menurut data bloomberg, dengan perdagangan akhir November kelabu, anjlok -2,5% (-114 poin) menjadi 4.446 poin. Exchange traded funds (ETF) EIDO merosot lebih dalam hingga -24% year to date.
Dalam outlook 2016, UBS melihat penurunan lebih dalam dari ekuitas ASEAN. Secara khusus, UBS memperkirakan terjadinya penurunan lebih lanjut dari laba perusahaan-perusahaan (emiten) di ASEAN. Di samping itu, UBS juga memperingatkan bahwa pasar saham ASEAN bisa kehilangan valuasi premium.
“Perkiraan konsensus saat ini tidak konsisten dengan prospek makroekonomi UBS untuk 2016 dan 2017, dengan pengecualian Indonesia,” kata analis UBS Ian Gisbourne dan tim, seperti dikutip dari Barrons.com. Misalnya, UBS mengestimasi PDB nominal Filipina tumbuh sebesar 9% pada 2016, namun bagaimana laba korporasi di sana dapat tumbuh sebesar 16%? Thailand adalah contoh lain. UBS melihat ekonomi Thailand tumbuh hanya 5% tahun depan, sementara laba korporasi di negara itu diperkirakan tumbuh hingga 15%.
Perkiraan konsensus masih terlalu tinggi, terutama terkait proyeksi pertumbuhan laba perusahaan yang berkisar 8% sampai 16%, dengan Singapura pada tataran terendah dan Filipina pada tataran paling tinggi.
Kedua, dalam kondisi kemerosotan tahun ini, pasar saham ASEAN tidak murah. Filipina, misalnya, diperdagangkan dengan rasio harga saham per laba ke depan 17 kali, jauh di atas MSCI Asia ex-Jepang 10,9 kali. Pasar saham Malaysia diperdagangkan dengan rasio 14,9 kali laba; pasar saham Indonesia diperdagangkan dengan rasio 13,7 kali; dan Thailand 12,6 kali.
Sebelumnya, Mandiri Sekuritas memprediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 4.500 poin pada akhir tahun ini. Prediksi itu disesuaikan dengan kondisi ekonomi melambat lebih dalam, kinerja emiten tak sesuai valuasi, dan sentimen negatif faktor global.
Kepala Riset Saham Mandiri Sekuritas John D Rahmat mengatakan, pihaknya menurunkan rating Indonesia ke underweight dari netral dan target IHSG akhir tahun ke 4.500 dari sebelumnya 5.450 karena tiga alasan. Pertama, ekonomi yang melambat lebih dalam dari yang diperkirakan. Kedua, kinerja perusahaan tercatat (emiten) tidak sesuai dengan valuasi saat ini. Ketiga, faktor global yang membawa risiko penurunan tambahan.
Menurut John, banyak ekonom masih mengharapkan ekonomi Indonesia rebound di semester II 2015, berkat besarnya pengeluaran pemerintah dan proyek infrastruktur proyek yang akan dimulai. Namun, baik negara maupun pendanaan sektor swasta untuk pembangunan infrastruktur cenderung lebih rendah dari harapan.
Sementara itu, daya beli konsumen juga kemungkinan tertekan oleh kenaikan harga minyak, menurunnya pendapatan di sektor perkebunan dan pertambangan, serta inflasi yang lebih tinggi. “Akan sulit bagi perekonomian untuk tumbuh sebesar lima persen atau lebih jika kedua faktor ini mengecewakan dalam pandangan kami,” kata dia.
Pada akhirnya, kata dia, tingkat valuasi saat ini tidak akan tumbuh berkelanjutan. Sepanjang 2014, jumlah perusahaan yang membukukan pendapatan lebih rendah dari perkiraan konsensus secara konsisten lebih tinggi, daripada mereka yang mengalahkan perkiraaan konsensus. Kesenjangan ini melebar secara substansial di kuartal I 2015 dengan risiko lebih besar yang akan datang.
Dia melanjutkan, sementara pihaknya percaya Fed Fund Rate tidak akan mulai naik sampai 2016, tetapi ada kemungkinan bahwa gelombang lain takut kenaikan akan menelan mata uang emerging market dan penilaian ekuitas akhir tahun ini.(*berbagai sumber/tim redaksi 05)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: