Duniaindustri (November 2012) -Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan besaran tarif cukai rokok rata-rata sekitar 8,5% yang tertuang dalam PMK Nomor 179/PMK 011/2012 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau pada tanggal 12 November 2012.
Berdasarkan keterangan resmi yang dirilis Kemenkeu hari ini, Senin (26/11), dengan ketentuan tarif cukai tersebut akan mulai diberlakukan pada tanggal 25 Desember 2012. Kebijakan cukai ini dibuat dalam rangka mencapai target penerimaan APBN 2013 dari sektor cukai hasil tembakau, yakni sebesar Rp88,02 triliun.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan besaran tarif cukai rokok rata-rata sekitar 8,5% yang tertuang dalam PMK Nomor 179/PMK 011/2012 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau pada tanggal 12 November 2012.
Dengan kenaikan tarif cukai sekitar 8,5% tersebut maka kenaikan secara moderat berkisar mulai Rp5 sampai dengan Rp20 per batang. Sistem tarif cukai tersebut melanjutkan kebijakan pada tahun 2012 yaitu sistem tarif cukai spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan tetap mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual eceran (Batasan HJE). Batasan HJE untuk SKM, SPM, dan SKT dilakukan penyesuaian untuk 10 layer tarif cukai.
Dari kebijakan tersebut, untuk penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau masih melanjutkan kebijakan tahun 2012, yaitu 2 (dua) golongan untuk jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin) dan SPM (Sigaret Putih Mesin) serta 3 (tiga) golongan untuk jenis SKT (Sigaret Kretek Tangan). Dengan mempertimbangkan roadmap industri hasil tembakau, dilakukan penyederhanaan struktur tarif dari 15 layer menjadi 13 layer, yaitu dengan menggabungkan layer 3 dengan layer 2 untuk jenis hasil tembakau SKM golongan I dan SPM golongan II, sedangkan jenis SKT tidak mengalami perubahan.
Sementara itu, tarif cukai untuk jenis Tembakau Iris (TIS), Klobot (KLB), dan Kelebak Menyan (KLM) dinaikkan mulai Rp1 hingga Rp4 per batang/gram dan dilakukan penyesuaian batasan HJE. Terhadap Cerutu (CRT) dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) tidak dilakukan perubahan tarif, namun demikian dilakukan penyesuaian Batasan HJE pada jenis CRT untuk layer tertinggi dan layer terendah. Sedangkan tarif cukai untuk hasil tembakau yang diimpor ditetapkan sama dengan tarif cukai tertinggi untuk masing-masing jenis dan golongan hasil tembakau yang diproduksi di dalam negeri.
Pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 12%-16% mulai 1 Januari 2012. Kenaikan tarif cukai rokok itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 167/PMK.011/2011 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
“Kebijakan cukai ini dibuat dalam rangka mencapai target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 dari sektor cukai hasil tembakau, yakni sebesar Rp72 triliun yang merupakan hasil kesepakatan optimalisasi penerimaan negara antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI),” kata Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan Yudi Pramadi dalam keterangan tertulisnya.
Dalam kebijakan cukai tahun 2012, penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau masih melanjutkan kebijakan tahun 2011, yaitu dua golongan pengusaha pabrik untuk jenis sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM), serta tiga golongan pengusaha pabrik untuk jenis sigaret kretek tangan (SKT).
Sementara mengenai struktur tarif, dengan mempertimbangkan roadmap industri hasil tembakau, diambil kebijakan penyederhanaan struktur tarif dari 19 layer menjadi 15 layer dengan menggabungkan beberapa layer dalam beberapa golongan jenis hasil tembakau.
“Secara rata-rata kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun 2012 sekitar 16,3% dengan produksi hasil tembakau diperkirakan mencapai 268,4 miliar batang. Beban cukai hasil tembakau dinaikkan secara moderat berkisar mulai Rp 10 sampai dengan Rp 70 per batang,” katanya.
Sedangkan tarif cukai untuk hasil tembakau jenis tembakau iris (TIS), cerutu (CRT), klobot (KLB), kelembak menyan (KLM), dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) tidak dilakukan perubahan.
Tahun ini, industri rokok nasional terkena ‘pukulan ganda’ sepanjang lima bulan pertama 2011. Pukulan ganda itu adalah kenaikan harga bahan baku (tembakau dan cengkih) serta rencana pembatasan iklan rokok.
“Pengusaha rokok kecil di Sidoarjo terancam gulung tikar, lantaran biaya produksi terus meroket naik dari harga yang ada saat ini,” ucap Sekretaris Gappri Kabupaten Sidoarjo Amin Wahyudi.
Kenaikan harga bahan baku (tembakau dan cengkih) sudah mulai merisaukan produsen rokok nasional. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Jawa Timur menyatakan harga cengkih melonjak dari Rp 60 ribu menjadi Rp 105 ribu per kilogram. Demikian pula dengan harga tembakau.
Menurut dia, jika harga tembakau dan cengkih tidak kembali stabil, kemungkinan besar pengusaha rokok harus menaikkan harga jual. “Persediaan cengkih hanya tersedia untuk dua bulan mendatang, dan pengusaha rokok tak bisa langsung menaikkan harga lantaran khawatir konsumen berpaling ke produk lainnya,” paparnya.
Selain itu, persaingan produk rokok sangat sengit. Akibatnya, semakin banyak perusahaan rokok yang tak mampu bertahan menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat. Pada 2007 tercatat sebanyak 201 pabrik rokok, namun pada Juli 2009 angka itu menurun hingga tersisa hanya 81 pabrik rokok.
Pembatasan Iklan
Di sisi lain, pemerintah juga mulai memfinalisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Kabarnya, iklan rokok masih diperbolehkan tapi dengan batasan tertentu.
Kementerian Kesehatan berharap pembatasan iklan rokok ditujukan agar generasi muda terhindar dari bahaya rokok. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, 37% pelajar SMP sudah biasa merokok.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga berencana menerbitkan peraturan untuk membatasi luas perkebunan tembakau, seiring makin gencarnya desakan perhatian kesehatan terhadap industri rokok. Tak heran, bahan baku rokok akan makin langka.
“Kementerian Pertanian memang akan membatasi luasan areal kebun tembakau. Jadi sedikit demi sedikit petani tembakau akan pindah ke komoditas lainnya,” tutur sumber di Kementerian Pertanian.
Padahal, konsumsi rokok di Indonesia cenderung unik, tetap tumbuh subur saat krisis global, terlebih lagi di saat pemulihan ekonomi dunia saat ini. Kondisi itu bisa menyulitkan produsen rokok besar, seperti Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, dan Bentoel.
Selain itu, Kementerian Pertanian juga tidak memberikan dana alokasi pembinaan untuk petani tembakau. Sebaliknya, Kementerian Pertanian mengucurkan triliunan rupiah untuk mendukung petani kakao dan sawit.