Duniaindustri.com (November 2017) – PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), emiten berbasis makanan minuman yang dikuasai Salim Group, menyatakan permintaan fast moving consumer goods (FMCG) hingga triwulan III 2017 masih belum banyak berubah. Tingkat permintaan pasar masih cenderung lemah, padahal persaingan makin ketat.
“Pada triwulan ketiga tahun 2017, kondisi pasar secara umum belum mengalami banyak perubahan. Permintaan atas produk fast moving consumer goods masih lemah, sementara tingkat persaingan semakin ketat,” ujar Anthoni Salim, Direktur Utama dan CEO Indofood dalam keterangan tertulis yang diterima Duniaindustri.com, di Jakarta.
Meski demikian, Indofood Sukses Makmur melaporkan pertumbuhan kinerja untuk periode sembilan bulan tahun ini sebesar 6,5% dibandingkan dengan periode sembilan bulan tahun lalu atau secara tahunan (year on year/yoy). Penjualan bersih perseroan meningkat dari Rp49,87 triliun pada sembilan bulan tahun lalu menjadi Rp53,12 triliun pada periode yang sama tahun ini.
Kempok usaha strategis produk konsumer bermerek (CBP), bogasari, agribisnis, dan distribusi masing-masing berkontribusi sekitar 50%, 22%, 20% dan 8% terhadap total penjualan neto konsolidasi,
Laba usaha perseroan meningkat dari Rp5,93 triliun menjadi Rp6,8 triliun atau tumbuh sebesar 14,6% yoy, sementara margin laba usaha naik dari 11,9% menjadi 12,8%.
Perseroan mencatatkan peningkatan laba bersih yang dapat diatribusikan pada pemilik entitas induk sebesar 1,2% yoy, atau tumbuh dari Rp3,24 triliun menjadi Rp3,28 triliun. Margin laba bersih turun dari 6,5% menjadi 6,2%.
Anthoni Salim, Direktur Utama dan CEO Indofood, mengatakan bahwa penurunan margin ini terjadi karena perseroan sudah tidak lagi membukukan laba periode berjalan dari operasi yang dihentikan, serta naiknya porsi kepentingan non-pengendali seiring dengan membaiknya kinerja grup agribisnis.
Dengan tidak memperhitungkan akun non-recurring dan selisih kurs, core profit yang mencerminkan kinerja operasional tumbuh 3,9% menjadi Rp3,24 triliun dari Rp3,12 triliun. Indofood merupakan salah satu market leader industri mi instan, salah satu fast moving consumer goods (FMCG) yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Secara industri, pada semester I 2017, pertumbuhan industri makanan minuman di Indonesia tidak terlalu bagus. Bahkan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menjelaskan, berdasarkan laporan industri ritel, masih banyak stok makanan minuman yang menumpuk di gudang, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Secara umum, kalau laporan di lapangan, memang terjadi perlambatan ekonomi, pertumbuhan fast moving consumer goods (FMCG) sangat minim. Biasanya, pada Lebaran bisa tumbuh rata-rata 10%, sedangkan tahun ini hanya 1%,” kata Adhi.
Daya beli masyarakat, dia menegaskan, tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan pembelanjaan baru terlihat menjelang Hari Raya, sesudah tunjangan hari raya (THR) cair. Hal ini menyebabkan stok di ritel modern masih menumpuk.
“Awal Juni, turun, setelah terima THR naik lagi, tapi terus turun lagi. Ini artinya, daya beli dan cadangan keuangan kelas menengah bawah minim, sehingga baru belanja menjelang Lebaran,” kata Adhi.
Hal ini diperkuat oleh laporan Nielsen yang menyebutkan, permintaan volume mi instan pada Mei 2017 turun 4,2% dan teh siap saji turun 10,2% jika dibandingkan periode sama tahun lalu. Dua produk itu merupakan FMCG yang mengalami penurunan signifikan. Adapun permintaan kopi turun 0,6%, susu bubuk 1,3% dan air mineral kemasan turun 1,4%.
Pemerintah, menurut Adhi, harus mewaspadai kondisi ini. Pasalnya, pertumbuhan ritel jarang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ritel biasanya berada di atas pertumbuhan ekonomi yakni 7-8%, sedangkan semester I-2017 diperkirakan hanya 3-4%. Adapun pertumbuhan ekonomi tahun ini diprediksi sekitar 5%.
“Kami minta pemerintah harus membuat regulasi yang lebih menentramkan konsumen. Ada laporan distributor, peritel, dan masyarakat ketakutan dengan aturan perpajakan, Mereka khawatir belanja barang dimonitor pemerintah,” kata Adhi.
Adhi menegaskan, situasi seperti ini tidak dapat direspons dengan berbagai regulasi yang justru menghambat industri. Apalagi, terkait regulasi yang menyulitkan pabrikan domestik memperoleh bahan baku, seper ti rencana implementasi lelang gula rafinasi. “Bagi kami saat ini, yang penting pemerintah bisa menjamin kepastian usaha,” paparnya.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: