Duniaindustri.com (Desember 2013) – PT Cargill Indonesia, raksasa komoditas asal Amerika Serikat, berencana membangun pabrik pengolahan kakao dengan nilai investasi US$100 juta di kawasan industri Maspion V Gresik, Jawa Timur. Pabrik yang ditargetkan selesai dibangun pada 2014 ini untuk memenuhi kebutuhan kakao di wilayah Asia.
Presiden Cargill Cocoa & Chocolate Jos de Loor mengatakan, pabrik tersebut akan menjadi pabrik Cargill pertama di Asia. “Pabrik ini butuh 70 ribu ton biji kakao untuk memproduksi berba-gai produk kakao olahan dalam bentuk bubuk, cairan, dan lemak kakao (butter), termasuk bubuk premium kakao Garkens. Produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan pasar Asia,” ujar dia, saat peletakan batu pertama pabrik di Gresik, Selasa (7/5).
Dia menjelaskan keberadaan pabrik ini merupakan bukti komitmen Cargill untuk memperkuat bisnisnya di Indonesia. Sebab, perseroan melihat adanya pertumbuhan yang signifikan terhadap pertumbuhan produk kakao dalam negeri.
“Investasi ini akan menjadi jawaban bagi pertumbuhan itu dan ini juga memungkinkan kami memroses kakao lokal dan mempertahankan komunitas petani lokal,” katanya.
De Loor menuturkan, Cargill telah lama menjalin kemitraan dengan petani kakao lokal melalui program pelatihan petani untuk mendorong praktek pertanian berkelanjutan. Hingga 2015, jumlah petani yang dilatih lebih dari 1.300 petani kakao di Indonesia.
Pengoperasian pabrik di Gresik itu akan melipatgandakan pembelian biji kakao dari petani untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri. Petani kecil juga berkesempatan memasarkan hasil panennya, sehingga mampu meningkatkan pendapatan mereka.
Dia mengatakan, untuk memenuhi permintaan pelanggan yang terus meningkat, perseroan harus memproduksi cokelat sendiri untuk memenuhi rantai pasokan yang terus tumbuh. “Pembangunan pabrik di Indonesia akan melengkapi jaringan global sumber kakao dan fasilitas pengolahan Cargill di Eropa Barat, Vietnam, Kamerun, Ghana, Pantai Gading, Brazil dan AS,” imbuhnya.
Industri kakao olahan nasional menyerap investasi sebesar Rp 1,42 triliun. Sebanyak 14 perusahaan kakao olahan dan cokelat merealisasikan investasi senilai USS 158 juta atau sekitar Rp 1,42 triliun di Bandung, Tangerang, Karawang, Medan, dan Surabaya. Delapan perusahaan meningkatkan kapasitas produksi dan enam sisanya investasi baru.
Investasi itu meningkatkan kapasitas produksi kakao olahan dan cokelat nasional menjadi 689.750 ton per tahun pada 2011, naik 29,7% dibandingkan 2010 sebanyak 531.675 ton. “Dengan perhitungan investasi setiap kapasitas produksi satu ton senilai USS 1.000, total penambahan kapasitas 158 ribu ton membutuhkan dana US$ 158 juta, belum termasuk tanah,” kata Ketua Umum Asosiasi Industri dan Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman.
Investor asing juga ingin investasi di Indonesia, salah satunya sudah merealisasikan pembangunan pabrik di Batam, yaitu PT Asia Cocoa Indonesia, anak usaha perusahaan Malaysia, Goliath Guan Chong Berhad senilai US$ 24 juta. Cargill Cocoa & Chocolate Inc asal Amerika Serikat juga berencana menanamkan investasi US$ 100 juta.
Menperin MS Hidayat menambahkan, realisasi investasi dan peningkatan kapasitas produksi tersebut menandai kebangkitan industri kakao olahan dan cokelat di Tanah Air. Untuk mendorong pengembangan industri hilir kakao dan cokelat, pemerintah telah menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) atas komoditi primer, termasuk biji kakao, negosiasi penyesuaian tarif bea masuk (BM) kakao olahan di beberapa negara tujuan ekspor, dan melaksanakan program gerakan nasional (Gernas) kakao untuk peningkatan mutu dan produksi kakao.
Seiring dengan itu, pemerintah menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk kakao bubuk diterapkan. Bea keluar (BK) progresif atas ekspor biji kakao juga diterapkan guna mengamankan pasokan bahan baku industri pengolahan kakao di Tanah Air.
Untuk merangsang pertumbuhan industri pengolahan kakao, pemerintah akan memasukkan industri kakao olahan dan makanan berbasis kakao dalam daftar penerima insentif keringanan pajak penghasilan (tax allowance).
Presiden Direktur PT General Food Industries Yoseph Chuang menuturkan, dari 4 juta ton biji kakao yang dihasilkan di dunia, hampir 100% berasal dari negara berkembang dan 80% dihasilkan dari Afrika. Namun, pengguna biji kakao sampai 90% justru terkonsentrasi di negara maju, terutama Eropa dan Amerika.
International Cocoa Organization (ICCO) mencatat, produksi biji kakao di Indonesia pada periode 2009-2010 merupakan yang terbesar ketiga di dunia, yaitu 550.000 ton per tahun setelah Pantai Gading sebesar 1,24 juta ton dan Ghana 632.000 ton. Namun, 72 persen biji kakao nasional masih diekspor.
Pada 2010, volume ekspor biji kakao nasional turun sebesar 2% dibandingkan 2009, dari 439.300 ton menjadi 432.426 ton. Secara nilai, ekspor biji kakao naik 10% dari US$ 1,09 miliar pada 2009 menjadi US$ 1,19 miliar pada 2010. Total ekspor kakao olahan naik 26% pada 2010 dibandingkan 2009, dari 81.993 ton menjadi 103.055 ton.(Tim redaksi 02)