Duniaindustri.com (Maret 2018) – Harga baja dunia kembali melonjak sekitar 20% pada Maret 2018 dibanding periode yang sama tahun lalu, seiring kebijakan Amerika Serikat menaikkan bea impor baja sebesar 25%. Harga baja dunia pada Maret 2018 diperdagangkan di kisaran US$ 650 per ton – US$ 660 per ton, lebih tinggi dibanding posisi Maret 2017 di kisaran US$ 540 per ton – US$ 550 per ton.
Kebijakan AS menaikkan bea impor baja memicu perang dagang dengan China sehingga menjadi pendorong kenaikan harga baja dunia. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan pengenaan bea impor baja dan aluminium untuk melindungi produsen AS. Trump mengatakan, bea masuk baja akan sebesar 25% dan aluminium 10%.
“Kami akan membangun industri baja dan aluminium kembali,” kata Trump dalam pernyataan yang dikutip Reuters.
Kenaikan bea impor itu akan membuat harga baja impor dari luar AS menjadi tinggi dan sulit berkompetisi dengan produsen lokal di negeri Paman Sam tersebut. Pergerakan tren naik harga baja dunia telah terlihat sejak Januari 2018 ketika menyentuh kisaran US$ 605 per ton – US$ 615 per ton.
Duniaindustri.com menilai kebijakan kenaikan bea impor baja menjadi trigger utama peningkatan harga baja dunia hingga ke level US$ 660 per ton. Duniaindustri.com mengambil data tren harga baja dunia dari harga baja di Timur Tengah dengan negara asal China untuk kategori HRC lebih besar atau sama dengan 2 milimeter.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mulai menyiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasi pengalihan ekspor baja China dari AS ke negara lain, seperti Indonesia.
Harjanto, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, mengatakan kebijakan Pemerintah AS tersebut akan memaksa produsen baja China mengalihkan ekspor ke negara lain, termasuk Indonesia. Karena itu, Kemenperin mengkaji beberapa upaya untuk menekan impor baja China.
“Salah satunya mengenai Permendag 22/2018 (Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya), kami akan mencoba membangun database sebagai guideline ke Kemendag apa saja produk baja yang sudah diproduksi dalam negeri, mana yang masih kurang dan mana yang boleh impor,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, upaya pencegahan pelarian tarif atau kode HS baja paduan. Selama ini produsen baja China banyak menggunakan celah bea masuk baja paduan sebesar 0% untuk memasukkan produk baja karbon ke Indonesia yang dilapisi dengan boron atau kromium. Langkah untuk menghindari modus ini akan dibicarakan dengan Kementerian dan lembaga terkait. “Baja paduan ini kan untuk otomotif dan alat berat, tetapi aplikasi dipakai untuk konstruksi dan sebagainya,” tegas Harjanto.
Purwono Widodo, Ketua Cluster Flat Product Asosiasi Besi dan Baja Indonesia (IISIA), mengatkan impor China ke negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dikhawatirkan meningkat sebagai dampak kebijakan Pemerintah AS untuk mengenakan tarip bea masuk impor baja. “Pasti nanti masuknya (ke Indonesia) lewat baja paduan karena untuk carbon steel kan masih kena bea masuk anti dumping. Mereka akan menggunakan pelarian HS,” kata Purwono, yang juga Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel Tbk.
Saat ini alokasi ekspor China ke negara-negara Asean sedang menurun cukup tajam karena Pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut mengutamakan kebutuhan domestik seiring dengan perbaikan ekonomi dalam negeri dan pengurangan pabrik baja yang tidak ramah lingkungan.
Dia menyatakan permintaan baja ke perseroan pun meningkat sebagai imbas dari pengurangan alokasi ekspor tersebut. “Di Krakatau Steel permintaan HRC tiap bulan 100.000 ton, sekarang naik sekitar 30%. Banyak yang minta baja ke pabrikan lokal setelah baja impor dari China sekarang sedang susah didapat,” ujarnya.(*/tim redaksi 06)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: