Duniaindustri.com (September 2014) – Bea keluar untuk ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dikenakan sebesar nol persen mulai Oktober disebabkan harga rata-rata CPO turun dari sekitar US$ 740 per ton menjadi sekitar US$ 660 per ton.
“Perhitungannya adalah bahwa harga rata-rata CPO itu turun dari sekitar US$ 740 per ton menjadi sekitar US$ 650-660 per ton. Karena itu, untuk Oktober bea keluarnya akan menjadi nol persen,” kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi.
Ia mengatakan bea keluar nol persen juga akan diterapkan pada produk hasil keturunan CPO seperti olein atau minyak goreng sawit, baik yang kemasan mau pun yang curah.
Terkait penerapannya, Wamendag mengatakan bea keluar nol persen telah dimasukkan dalam sistem pencatatan otomatis dan tidak harus menunggu keputusan dulu dari pejabat yang bersangkutan.
“Sistemnya itu sifatnya otomatis, tidak lagi harus menunggu keputusan harganya berapa. Maka kita bisa tahu persis masing-masing produk itu bea keluarnya berapa,” katanya.
Pekan lalu dalam pertemuan tertutup dengan pengusaha sawit Tiongkok di Shanghai, Wamenlu masih menolak untuk melakukan penghapusan bea keluar demi pertimbangan kepentingan negara.
“Pemerintah mempertimbangkan permohonan penghapusan bea keluar, namun harus mempertimbangkan kepentingan Indonesia,” tuturnya dalam pertemuan itu.
Dalam rangka meningkatkan kinerja ekspor impor produk kelapa sawit Indonesia, Wamenlu aktif berkomunikasi dengan berbagai pihak sehingga pemerintah dapat memperhatikan kebutuhan mereka saat merencanakan kebijakan seputar kelapa sawit.
Bayu Krisnamurthi mengimbau pengusaha minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk membatasi jumlah ekspor produknya saat bea keluar dihapuskan pada Oktober.
“Saya hanya ingin menyampaikan bahwa walau bea keluarnya nol persen saya mengimbau kepada para pelaku usaha, para eksportir untuk tidak ekpor besar-besaran,” kata Wamendag.
Menurutnya kini permintaan CPO tengah tertekan sehingga ekspor yang semakin besar tanpa perlindungan volume akan berakibat bertambahnya penawaran sehingga permintaan akan semakin tertekan.
Indonesia, katanya, adalah pemain penting dalam minyak sawit sehingga harus memperhitungkan jumlah ekspor produk-produk sawit dengan tepat agar dapat memperoleh keuntungan maksimal.
“Indonesia merupakan pasar yang besar dalam CPO dan olein, jadi kita harus benar-benar berhitung dengan cerdas untuk melihat dengan keuntungan terbesar bagi kita,” katanya.
Ia berharap adanya kebijakan bea keluar sawit nol persen pada Oktober berakibat positif bagi perdagangan Indonesia dan bukannya berdampak sebaliknya.
“Menurut saya ekspor berlebihan jika bea nol persen bisa kontraproduktif jika tidak diiringi perhitungan ekspor yang tepat,” tuturnya.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) volume ekspor CPO dan turunannya pada Mei 2014 tercatat meningkat sebesar 23% dari 1,38 juta ton pada April lalu hingga mencapai 1,7 juta ton di bulan Mei.
Sementara Kementerian Perdagangan menentukan Harga Patokan Ekspor Juni 2014 sebesar US$ 844 dan bea keluar 12% dengan referensi harga rata-rata tertimbang sebesar US$ 915.26.(*)