Duniaindustri (April 2011) –Sumber daya alam Indonesia tetap menjadi incaran perusahaan asing. Enam perusahaan asing yang bermitra dengan pengusaha lokal menanamkan modal sekitar US$ 500 juta – US$ 700 juta untuk menggarap pengolahan bijih besi yang terintegrasi dengan produksi baja.
Dari penelusuran tim redaksi duniaindustri diketahui, enam perusahaan asing itu adalah Salgaocar Mining Industries Pvt Ltd (India) yang membentuk perusahaan patungan dengan PT Sumba Prima Iron (SPI), anak usaha Merukh Enterprises, mengembangkan tambang bijih besi di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Timur, di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
PT Jogja Magasa Iron, anak usaha Indo Mines Ltd (perusahaan tambang asal Australia), berencana membangun pabrik pengolahan bijih besi menjadi besi mentah (pig iron) senilai US$ 600 juta di Kulon Progo yang ditargetkan beroperasi mulai 2013.
Perusahaan asal Korea Selatan (Korsel), JSK International Resources Co Ltd, akan membangun pabrik pengolahan bijih besi di Provinsi Aceh dengan menginvestasikan dana sebesar US$ 1 juta. Tak ketinggalan, perusahaan tambang bijih besi PT Lhoong Setia Mining (LSM) mulai melakukan eksploitasi di kawasan Lhoong, Aceh Besar, dan telah melakukan ekspor sebanyak 18.000 ton bijih besi ke China sejak Desember 2008 hingga saat ini.
PT Meratus Jaya Iron and Steel, perusahaan patungan PT Krakatau Steel Tbk dan PT Aneka Tambang Tbk, juga menggarap pengolahan bijih besi di Kalimantan Selatan senilai Rp 1,1 triliun. PT Gainet International Indonesia (GII), perusahaan patungan China dan Indonesia, juga menggarap pengolahan bijih besi di Sumatera Barat.
Perusahaan asing asal India, China, dan Korea Selatan itu mengincar cadangan bijih besi di Indonesia sebagai sumber bahan baku utama produksi baja. Apalagi, produksi baja dunia pada tahun ini diperkirakan meningkat 8-10% seiring pemulihan ekonomi global pasca krisis 2008.
Meski cadangan bijih besi di Indonesia tersebar dan memiliki kadar FE rendah, dengan teknologi dan proses lanjutan yang tepat bijih besi dari Indonesia dapat dimanfaatkan optimal untuk produksi baja.
Tak heran, PT Jogja Magasa dikabarkan sudah memperoleh izin penambangan pasir besi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2008 dengan luas konsesi sekitar 3.000 ha dengan jangka waktu kontrak 30 tahun. Sedangkan PT Sumba Prima Iron akan menggandeng perusahaan asal Jerman (ESG Eisenerz-Stahl GmbH) untuk meningkatkan kadar FE bijih besi di Indonesia.
President Direktur dan CEO Merukh Enterprises Rudy Merukh mengatakan, pembentukan perusahaan patungan bersama Salgaocar dilakukan untuk mempercepat eksplorasi dan eksploitasi tambang bijih besi di Pulau Sumba. “Dua tim teknis gabungan dari Sumba Prima Iron dan Salgaocar akan melakukan survei pendahuluan pada Agustus dan diperkirakan akhir 2011 tambang tersebut sudah berproduksi,” ujarnya.
Sementara itu, Perwakilan JSK International Resources Co Ltd and Consortium, Park Sin Jae, telah menandatangani naskah kerjasama (MoA) dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Kerja sama Pemerintah Aceh dan investor Korea ini meliputi pertambangan, pabrik pemurnian bahan baku mentah, dan pengolahan bijih besi menjadi billet (baja setengah jadi).
Direktur Utama KS Fazwar Bujang mengatakan, pabrik pengolahan bijih besi yang terintegrasi dengan pabrik ironmaking hasil kerjasama PT Krakatau Steel Tbk (KS) dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang berlokasi di Kalimantan Selatan akan segera berproduksi di Agustus 2011. “Kami ditugaskan di Kalimantan saja, pabrik ironmaking-nya. Bulan Agustus sudah diproduksi,” ujarnya.
Dia mengatakan pada proyek senilai Rp 1,1 triliun ini, porsi saham KS adalah sebanyak 62% dan Antam sebesar 32%, serta bantuan pemerintah sekitar 5% untuk penyediaan lahan. “Di sana pabrik kami luasnya 30 hektare walaupun telah dapat izin 200 hektare,” ujarnya.
Sedangkan PT Gainet International Indonesia (GII) telah meresmikan pabrik pengolahan bijih besi di Sumatera Barat. Latar belakang investasi pabrik itu dilakukan karena diketahui Republik Rakyat China (RRC) kekurangan bijih besi untuk kebutuhan industri baja di Negeri Tirai Bambu itu. Untuk memenuhi kebutuhan bijih besi, investor China datang terlebih dahulu ke Sumatera Barat untuk mencari sumber bijih besi. “Karena itu terjadi kerjasama untuk mendirikan satu perusahaan, yang sekarang bernama PT Gainet International Indonesia,” ungkap Burhan Azis, Direktur PT Gainet International Indonesia.
Menurut dia, di Sumatera Barat terdapat lebih kurang 48 tambang bijih besi jenis magnetik, yang dibutuhkan oleh China. “Kami melihat kalau bijih besi itu tidak diolah sulit diterima oleh pabrik baja di dunia, bukan saja di China. Jadi harus diolah menjadi barang setengah jadi, kemudian baru bisa langsung digunakan di berbagai pabrik baja di China,” ujar Burhan.(Tim redaksi 03)