Duniaindustri (November 2012) — Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mengancam sejumlah industri padat karya karena kenaikan standar upah buruh yang signifikan di berbagai daerah di Indonesia. Dua industri padat karya itu antara lain sektor tekstil dan produk tekstil serta alas kaki.
Asosiasi Pertektilan Indonesia (API) memperkirakan akan ada ribuan karyawan terkena PHK. “Garmen kita pasti akan relokasi. Tekstil akan melakukan pengurangan pekerja,” ungkap Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertektilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy kepada pers.
Dia menambahkan, asosiasi menolak keras penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 2,2 juta termasuk UMP daerah sekitarnya. “Pemberlakuan upah ini jelas akan mematikan industri padat karya. Beberapa perusahaan tekstil sudah siap untuk merumahkan ribuan karyawan karena ketidaksanggupan membayar upah sebesar Rp 2,2 juta per bulan,” ujar Emovian.
Dia mengonfirmasikan bahwa sejumlah perusahaan akan mengurangi karyawan. “Kami sudah bicara dengan beberapa perusahaan asing. Kata mereka, kurang lebih 100.000 orang akan dikurangi. Yang sudah pasti, ada perusahaan mengurangi 1.000 orang dan 600 orang. Itu sudah pasti,” ujarnya.
Menurut dia, industri padat karya selama ini mengais keuntungan yang kecil. “Pemesanan memang besar tapi marginnya kecil. Kami bayar pakai apa?” kata dia seraya menambahkan bahwa kondisi ini akan diperburuk oleh kenaikan tailf tenaga listrik dan gas.
Namun ketika di konfirmasi lebih lanjut, Ernovian enggan menyebutkan nama perusahaan yang akan mengurangi jumlah karyawannya. Menurut dia, pengurangan karyawan ditetapkan berdasarkan jabatan kerjanya masing-masing. “Karyawan di cleaning service, security, itu mulai tuh pengurangan. Kalau operator, itu yang terakhir. Dua belas mesin yang tadinya dioperasikan oleh 2 orang, sekarang 1 orang,” tegasnya.
Sekjen Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Binsar Marpaung mengatakan hal senada. Menurut dia, penetapan UMP ini otornatis akan menurunkan daya tarik investasi ke Indonesia. “Itu akan menjadi patokan investasi Eropa ke Indonesia,” ujarnya.
Aprisindo memperkirakan sekitar 600.000 pekerja di industri sepatu terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) jika rencana penghentian produksi (lock out) secara nasional terjadi. Pilihan penghentian produksi terjadi karena selama ini iklim usaha tidak kondusif menyusul tidak adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum dari pemerintah.
“Beberapa pabrik sepatu sudah tutup karena kondisi tidak kondusif. Di industri persepatuan ini jumlah total karyawannya 600.000 orang, dan itu terancam pemutusan hubungan kerja jika lock out nasional terjadi,” kata Binsar Marpaung, Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia.
Penghentian produksi secara nasional merupakan respons dari sejumlah asosiasi industri menyusul gangguan aksi buruh yang cenderung anarkis dan memblokir akses di kawasan industri. “Kami sulit memenuhi tuntutan buruh karena industri sepatu berproduksi dengan volume tinggi, tetapi marginnya tipis,” ujarnya.
Selain tekstil dan alas kaki, industri baja juga sedang dirundung masalah. Sekitar 50 produsen baja nasional terpaksa menurunkan produksi minimnya pasokan bahan baku, yang mengakibatkan pelaku usaha baja mengurangi jumlah pekerja sementara. Kondisi kelangkaan bahan baku yang sudah mengkhawatirkan ini berpotensi membuat sektor industri baja mengalami deindustrialisasi (penurunan kinerja industri secara kontinyu) jika tidak segera diatasi.
“Semenjak Januari 2012 sampai 4 Juli 2012, tercatat 7.000 kontainer berisi scrap (baja kasar) ditahan oleh pihak bea cukai di sejumlah pelabuhan seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Edward R Pinem.
Menurut dia, 7.000 kontainer bahan baku itu setara 140.000 ton bahan baku scrap yang dibutuhkan sekitar 50 produsen baja nasional. “Saat ini ada beberapa industri baja yang sudah mengistirahatkan pegawainya karena tidak bisa berproduksi dan ada beberapa produsen merumahkan karyawan sambil mengumpulkan scrap dalam negeri untuk bisa produksi,” katanya.
Berdasarkan data IISIA, perusahaan baja yang sudah melakukan perumahan karyawan antara lain PT Toyogiri, PT Inteworld Steel, PT Dwi Jaya, PT Pangeran Murni, PT Cakra Steel, PT Ispatindo, PT Alimindo, dan PT Hanil Jaya. Langkah perumahan karyawan sampai saat ini berjumlah sekitar 450 pekerja.
Sementara perusahaan baja yang menurunkan produksi adalah PT Citra Baru Steel, PT Growth Sumatra, PT Growth Asia, PT Asian Izusu, PT Inti General, PT Indo Baja, PT Jakarta Cakra, PT Jakarta Sentral, PT Lautan Steel, PT Pangeran Karang Murni, PT Gunung Garuda, PT Inter World Steel, PT Hanil Jaya Steel, PT Ispat Indo, PT Huwalin, PT Bangun Sarana Baja, dan PT Gunung Gahapi.
Edward menilai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup menyebabkan banyaknya kontainer ditahan. “Selama ini, impor scrap sudah lolos administrasi dan melibatkan surveyor, apalagi impor scrap itu sudah berlangsung lama sejak 30-40 tahun yang lalu,” ujarnya.
Edward menuturkan, di Indonesia, sangat susah untuk mencari bahan baku baja seperti scrap dan hal tersebut membuat sektor industri baja tidak memiliki daya saing. “Selama ini, pasokan scrap dari dalam negeri hanya 30% dan 70% dipenuhi dari impor dari total bahan baku sebanyak 6-7 juta ton. Namun, pada 2005 lahir Undang-Undang Lingkungan Hidup tentang ketentuan bahan baku baja dan pelaku usaha industri baja sudah melakukan importasi scrap sesuai ketentuan pemerintah,” paparnya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengatakan, selama ini bahan baku produk baja berasal dari pig iron, sponge iron, maupun scrap yang sebagian besar masih diimpor.
“Utilisasi sumber daya mineral logam bijih besi masih minim, apabila ekspor bijih besi tidak dikendalikan, maka akan habis dalam waktu dekat. Selain itu, perlambatan pertumbuhan industri logam seperti baja disebabkan 70% bahan baku seperti scrap masih tergantung impor serta meningkatnya harga bahan baku akibat prosedur importasi scrap yang memakan waktu lama,” ujarnya.
Panggah menyatakan penahanan 113 kontainer berisi scrap milik PT Hwa Hok Steel yang diindikasi terkontaminasi limbah B3 berdampak kepada kontainer produsen di seluruh pelabuhan yang mencapai 7.000 kontainer.
“Penahanan kontainer berisi scrap mengakibatkan harga scrap naik 100% menjadi US$ 800 per ton dibandingkan sebelum penahanan yang mencapai US$ 400 per ton dan mengganggu ketersediaan bahan baku terhadap 132 perusahaan peleburan industri logam dalam negeri dan satu perusahaan telah berhenti produksi,” ucapnya.
Duniaindustri.com menilai dengan berbagai masalah dan hambatan, bukan tidak mungkin tidak sektor industri (tekstil, alas kaki, dan baja) menghadapi ancaman deindustrialisasi.(Tim redaksi 01)