Duniaindustri.com (September 2015) – Aktivitas industri manufaktur Indonesia melanjutkan pelemahan untuk bulan kesepuluh berturut-turut pada Juli 2015 karena terus menurunnya pesanan. Kondisi itu diantisipasi sejumlah sektor industri manufaktur dengan cara efisiensi, penurunan utilisasi pabrik, hingga mengurangi tenaga kerja.
Menurut survei indeks manajer pembelian (PMI) yang dilakukan The Nikkei/Markit, PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2015 anjlok ke level 47,3 dari 47,8 pada Juni. Sebagai catatan, dari skala 0 hingga 100, level di bawah 50 menunjukkan terjadinya kontraksi dan sebaliknya di atas 50 terjadi pertumbuhan.
Hasil survei itu mengindikasikan dengan kondisi ekonomi yang memburuk, pabrik di Indonesia melepas tenaga kerja pada level tercepat sejak survei dimulai pada 2011. Kondisi itu terjadi karena pesanan baru dari domestik maupun luar negeri menurun pada Juli 2015, seiring pelemahan ekonomi dan jatuhnya kepercayaan pemesan. Hal itu mengisyaratkan awal yang lemah untuk pertumbuhan industri manufaktur di kuartal III 2015.
“Tingkat inflasi yang moderat dikombinasikan dengan jatuhnya produksi industri manufaktur menyediakan BI ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter dalam beberapa bulan mendatang, dengan pertemuan (Rapat Dewan Gubernur BI) berikutnya yang dijadwalkan pada 18 Agustus,” kata Pollyanna De Lima, ekonom Markit dalam keterangan tertulis.
Sejumlah asosiasi sektor industri manufaktur juga melaporkan penurunan penjualan pada semester I 2015 akibat pelemahan ekonomi serta depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Akibat kondisi tersebut, sejumlah industri manufaktur yang mengalami penurunan penjualan di atas 30% terpaksa menurunkan utilisasi pabrik, bahkan ada yang telah merumahkan pekerja (layoff).
Untuk mengatasi hal tersebut, pelaku industri manufaktur mendesak pemerintah segera memberikan insentif dan stimulus untuk menggerakkan perekonomian. Pasalnya, efisiensi yang saat ini dilakukan tidak akan berguna tanpa dukungan pemerintah guna membangkitkan daya beli konsumen.
Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Syntethic Fiber Indonesia (Apsyfi), menjelaskan pelemahan ekonomi serta membanjirnya produk impor telah mempengaruhi kinerja penjualan industri hulu tekstil yang memproduksi serat sintetis, benang, dan kain. “Penjualan kami di semester I 2015 turun signifikan, sehingga efisiensi mesti dilakukan. Ini semua akibat produk impor yang membanjir dan tidak dicegah pemerintah,” katanya.
Menurut dia, akibat penurunan penjualan, produsen tekstil hulu telah menurunkan utilisasi hingga 30%. Dengan kondisi tersebut, sekitar delapan perusahaan tekstil hulu terpaksa me-layoff sekitar 1.000 pekerja. “Sekitar 400 pekerja di-PHK dan 600 lainnya dirumahkan,” katanya.
Menghadapi hal tersebut, lanjut dia, Apsyfi mendesak pemerintah melarang impor serat sintetis, benang, dan kain. Selain itu, pemerintah perlu memberikan keringanan pajak penjualan (PPN), penurunan tarif dasar listrik, keringanan suku bunga. “Tujuannya agar industri dapat bergerak lagi dan mencegah layoff berlanjut,” tuturnya.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: