Duniaindustri.com – Sekitar 80% bahan baku rotan di seluruh di dunia dihasilkan oleh Indonesia, karena negeri ini merupakan negara penghasil terbesar di dunia. Untuk mendukung hal itu, sejumlah pemangku kepentingan di Indonesia sedang melakukan inisiasi pembuatan skema sertifikasi rotan lestari.
“Skema ini merupakan alternatif atas skema sertifikasi pihak ketiga yang diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan, biaya yang mahal, rumit dan sulit untuk diterapkan oleh produsen skala kecil,” kata Gladi Hardiyanto dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
Menurut dia, daerah penghasil rotan Indonesia tersebar di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Papua dengan potensi sekitar 622.000 ton per tahun. Dari potensi itu, diperkirakan terdapat 4-5 juta orang terlibat di industri dasar.
Sejumlah pemangku kepentingan di Indonesia menginisiasi skema participatory guarantee system (PGS), atau skema penjaminan partisipatif untuk sertifikasi lestari Indonesia yang telah dimulai prosesnya sejak awal 2012.
“Proses-proses ini kemudian menghasilkan satu dokumen gagasan tentang Skema Sertifikasi Lestari Indonesia,” katanya.
Rotan sudah sejak lama dikenal sebagai komoditas hasil hutan nonkayu yang penting dan sangat potensial di Indonesia. Namun, industri ini di dalam negeri justru menurun kinerjanya. Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) menagih janji pemerintah untuk menggairahkan industri domestik pasca pemberlakuan kebijakan pelarangan ekspor rotan mentah.
Menurut Rudyzar ZM, Koordinator APRI, pelarangan ekspor rotan mentah justru menyebabkan industri barang jadi di dalam negeri semakin kalah bersaing dengan produk sintetis. “Suplai bahan baku rotan juga tidak lancar mengingat ketidakpastian bahan baku,” ungkap Rudyzar.
Karena itu, para pengusaha menagih janji pemerintah, antara lain, mengenai hilirisasi dengan membangun pabrik pengolahan menjadi produk jadi di daerah penghasil. Kemudian mengirim pengrajin dari Cirebon ke daerah penghasil rotan di luar Jawa. Termasuk iming-iming penyerapan semua produk rotan dari daerah melalui resi gudang.
Pemerintah juga menjanjikan adanya investor yang nantinya bisa mengembangkan industri mebel dan kerajinan di Indonesia. Namun hingga kini investor itu belum jelas. Selain itu, rencana penggunaan bahan baku mebel di instansi pemerintah juga belum terwujud.
Ambar Tjahjono, Ketua Asosiasi Industri Permebelan & Kerajinan Indonesia (Asmindo), mengharapkan pemerintah segera membangun badan penyangga atau buffer stock. Industri sangat membutuhkan badan ini untuk menstabilkan harga rotan dan pasokan bahan baku.
Ambar menilai produk yang diekspor mayoritas berbahan rotan asli. “Terdapat beberapa produk yang kandungan rotannya sedikit namun dimasukkan ke harmonized system (HS) rotan,” ungkap dia.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: