Duniaindustri.com (Oktober 2015) – Sebanyak 13 perusahaan tekstil existing memasukkan pengaduan melalui asosiasi industri terkait kondisi perusahaan yang kesulitan bertahan. Dari jumlah itu, delapan perusahaan tekstil di antaranya akan mengurangi produksi, dan lima berencana tutup.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman modal (BKPM) Franky Sibarani menjelaskan pemerintah telah membentuk Desk Khusus Investasi sektor tekstil dan sepatu yang dalam waktu dekat akan melakukan pertemuan one on one 13 investor tekstil existing yang sudah memasukkan pengaduan melalui asosiasi. Pertemuan one on one diperlukan karena permasalahan yang dihadapi investor berbeda-beda sehingga fasilitasi yang dilakukan juga berbeda.
“Jadi contohnya kalau investor menghadapi permasalahan dalam membayar tagihan listrik, kami akan menghubungkan dengan PLN untuk mendapatkan fasilitas membayar dengan mencicil. Demikian pula jika yang dihadapi masalah pembayaran pajak, akan dihubungkan dengan Ditjen Pajak untuk skema pembayaran dengan mengangsur,” kata Franky.
Desk Khusus Investasi sektor Tekstil dan Sepatu dibentuk BKPM bersama Kementerian terkait lainnya untuk membantu investor existing, sehingga dapat mencegah PHK. Adapun desk investasi ini terdiri dari BKPM, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak dan Bea Cukai), dan kementerian terkait lainnya, serta didukung oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo).
Sebanyak 60.000 pekerja di industri tekstil Indonesia mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Umumnya, industri tekstil yang melakukan PHK adalah perusahaan yang orientasi pasarnya domestik.
“Semuanya yang berorientasi domestik rata-rata sudah menghentikan produksi sehingga mengurangi banyak tenaga kerja di Indonesia,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat.
Menurut Ade, kalangan pengusaha tekstil yang tergabung dalam API mengaku sangat mengkhawatirkan kondisi sekarang ini. Pelemahan rupiah akan semakin menekan laju produksi hingga 35%, terutama perusahaan tekstil yang berorientasi di pasar domestik.
Selain memberhentikan pekerja, kata Ade lagi, banyak perusahaan tekstil mulai memangkas jam operasional kerja para pegawai, yang semula 40 jam per minggu kini menjadi 25 jam per minggu. “Kini, pelemahan rupiah telah merambat ke sektor hulu pertekstilan yang berproduksi dalam pembuatan kain dan benang,” tutur Ade.
Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Syntethic Fiber Indonesia (Apsyfi), menjelaskan pelemahan ekonomi serta membanjirnya produk impor telah mempengaruhi kinerja penjualan industri hulu tekstil yang memproduksi serat sintetis, benang, dan kain. “Penjualan kami di semester I 2015 turun signifikan, sehingga efisiensi mesti dilakukan. Ini semua akibat produk impor yang membanjir dan tidak dicegah pemerintah,” katanya.
Menurut dia, akibat penurunan penjualan, produsen tekstil hulu telah menurunkan utilisasi hingga 30%. Dengan kondisi tersebut, sekitar delapan perusahaan tekstil hulu terpaksa me-layoff sekitar 1.000 pekerja. “Sekitar 400 pekerja di-PHK dan 600 lainnya dirumahkan,” katanya.
Menghadapi hal tersebut, lanjut dia, Apsyfi mendesak pemerintah melarang impor serat sintetis, benang, dan kain. Selain itu, pemerintah perlu memberikan keringanan pajak penjualan (PPN), penurunan tarif dasar listrik, keringanan suku bunga. “Tujuannya agar industri dapat bergerak lagi dan mencegah layoff berlanjut,” tuturnya.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: