Duniaindustri (November 2012) – Industri baja di Indonesia masih mengimpor sekitar 70% dari total bahan baku yang dibutuhkan. Saat ini total kebutuhan bahan baku industri baja nasional mencapai 6-7 juta ton. Impor bahan baku baja sekitar 4,2 – 4,9 juta ton per tahun atau setara US$ 3,9 miliar dengan rata-rata harga bahan baku baja sekitar US$ 800 juta.
Harga bahan baku baja terutama scrap melonjak drastis seiring masalah penahanan kontainer bahan baku yang diduga mengandung bahan berbahaya. Akibat penahanan impor bahan baku di pelabuhan, harga scrap meroket 100% menjadi US$ 800 per ton dibanding sebelumnya US$ 400 per ton.
Direktur Jenderal (Dirjen) Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah Susanto mengatakan industri baja nasional selama ini sangat bergantung kepada impor bahan baku sebesar 70%, sedangkan 30% dipasok dari dalam negeri. “Total kebutuhan bahan baku besi tua mencapai 6,5 juta ton,” ujarnya.
Dari total bahan baku baja sekitar 6-7 juta ton, produk akhir baja yang dapat dihasilkan mencapai 9,9 juta ton. Berdasarkan data South East Asia Iron & Steel Institute, total permintaan produk baja akhir di Indonesia pada 2011 diperkirakan mencapai 9,9 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 54% masih dipasok impor. Di 2010, konsumsi produk baja akhir di negeri ini mencapai 9 juta ton, dengan porsi impor sebesar 55%.
PT Krakatau Steel Tbk (KS), BUMN produsen baja yang tercatat di bursa efek Indonesia, menjadi pemimpin pasar baja di Indonesia. KS menguasai 41% pasar baja canai panas (hot rolled coils/HRC) di Indonesia pada 2011. Total permintaan HRC di Indonesia pada 2011 mencapai 3,6 juta ton.
Data yang diperoleh duniaindustri.com dari CRU Strategies Limited (perusahaan riset dan informasi investasi) yang diolah oleh Krakatau Steel menyebutkan, KS juga memimpin pasar baja canai dingin (cold rolled coils/CRC) di Indonesia dengan pangsa pasar 24% di 2011. Total permintaan baja jenis CRC di Indonesia pada 2011 mencapai 1,7 juta ton.
Untuk baja jenis HRC, KS menjadi pemimpin pasar dengan kapasitas produksi 2,4 juta ton per tahun di 2011, mengungguli PT Gunung Raja Paksi dengan kapasitas produksi 700 ribu ton per tahun, PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk dengan kapasitas 350 ribu ton, dan PT Jaya Pari Steel Tbk dengan kapasitas 100 ribu ton per tahun.
Di baja jenis CRC, KS menjadi pemimpin pasar dengan kapasitas produksi 850 ribu ton per tahun di 2011, diikuti PT Essar Indonesia dengan kapasitas 400 ribu ton per tahun, PT Little Giant Steel yang berkapasitas 230 ribu ton, dan PT Raja Besi yang berkapasitas produksi 150 ribu ton.
Nilai Pasar Baja
Duniaindustri.com menaksir pasar baja di Indonesia diperkirakan naik 7,9% di 2012 menjadi 10,25 juta ton dibanding 2011. Jika harga baja dunia—menurut Middle East Steel—mencapai US$ 690-720 per ton di Januari 2012, maka pasar baja di Indonesia ditaksir senilai US$ 7,38 miliar atau Rp 66,4 triliun pada tahun ini.
Nilai pasar baja di Indonesia dihitung tim redaksi duniaindustri.com berdasarkan data World Steel yang disesuaikan dengan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA). Harga baja yang digunakan merujuk pada data Middle East Steel—lembaga riset baja—yang menyebutkan harga baja canai panas (hot rolled coils/HRC) yang menjadi patokan harga baja dunia mencapai US$ 690-720 per ton.
Nilai pasar baja di Indonesia di 2012 diperkirakan naik 4,2% dibanding 2011 sebesar Rp 63,7 triliun. Peningkatan dipicu oleh konsumsi baja di sektor konstruksi dan manufaktur yang diperkirakan naik sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diramalkan bisa mencapai 6,5%. Sektor konstruksi diperkirakan tumbuh 7,3%, sedangkan dan sektor manufaktur ditargetkan tumbuh di atas 6,5%.
Khusus kebutuhan baja di dalam negeri, selain ditopang pertumbuhan ekonomi, konsumsi baja juga didorong oleh peningkatan produksi otomotif. Indonesia termasuk salah satu konsumen sekaligus produsen baja yang besar. Namun yang terjadi saat ini, produksi baja nasional tidak pernah seimbang dengan konsumsi kebutuhan dalam negeri.
PT Krakatau Steel Tbk akan mempercepat revitalisasi Pabrik Baja Slab I yang saat ini prosesnya hampir mendekati 100% sebagai antisipasi meningkatnya permintaan baja pada 2013 utamanya dari pasar domestik. “Revitalisasi Pabrik Baja Slab I saat ini sudah mencapai 96%, diperkirakan akan selesai dalam waktu dekat,” kata Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk Irvan Kamal Hakim.
Melalui revitalisasi tersebut, Irvan optimistis, produksi baja slab KS dapat ditingkatkan menjadi 2,1 juta ton per tahun, tumbuh 16,7% dari sebelumnya. Baja slab tersebut selanjutnya akan diolah lagi menjadi hot strip mill. Sepanjang sembilan bulan tahun ini, konsumsi baja di Indonesia cenderung meningkat, khususnya di sektor konstruksi, manufaktur dan infrastruktur. Hal itu tercermin pada peningkatan volume penjualan KS pada Q3 2012 tumbuh 16,3% (YoY) sebesar 1,7 juta ton. Tren peningkatan tersebut diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir 2012.
Peningkatan penjualan tersebut ditopang oleh peningkatan produksi baja hot roll coil (HRC) KS pada Q3 2012, sebesar 5,2% (YoY) mencapai 1,3 juta ton dengan tingkat utilisasi meningkat 76%. Peningkatan penjualan itu juga mengontribusi pertumbuhan pendapatan perseroan pada kuartal ke-3 2012, yang tumbuh 25,48% menjadi Rp15,88 triliun dari Rp12,65 triliun pada periode sebelumnya.
Namun, mengingat perseroan tengah merevitalisasi pabrik slab, akibatnya kebutuhan slab harus dipenuhi dari pihak luar. Hal itu membuat biaya yang ditanggung perseroan juga meningkat. Hal itu terlihat pada beban usaha KS, yang meningkat 1,77% menjadi Rp977,61 miliar dari Rp960,6 miliar, sehingga laba usaha tergerus 31,11% menjadi Rp172,07 miliar dari Rp249,79 miliar.
Untuk menyiasati hal tersebut, selain mempercepat revitalisasi pabrik slab, manajemen KS melakukan efisiensi, salah satunya dengan mempercepat pembangunan Pabrik Blast Furnace.
Pabrik yang akan memproduksi baja cair dan slab ini diharapkan bisa selesai lebih cepat dari tenggat waktu yang ditetapkan pada semester kedua 2014. “Pabrik tersebut dapat menghemat biaya produksi, mengingat teknologinya menggunakan energi batubara. Seiring meningkatnya harga gas, penggunaan batubara jauh lebih efisien,” ujar Irvan.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Edward R Pinem, kondisi industri baja nasional saat ini dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya kelangkaan dan mahalnya harga bahan baku serta persaingan dengan baja impor yang membanjiri pasar dalam negeri.
Begitupula industri baja regional, sebagian besar perusahaan baja di Asia juga mengalami penurunan kinerja. “Kinerja perusahaan baja di Taiwan, Korsel, Jepang, Malaysia dan negara lainnya juga tengah tertekan. Posco saja saat ini tengah mengalami kesulitan, sehingga harus melepas beberapa asetnya,” ujar Edward. (Tim redaksi 02)