Duniaindustri.com (Agustus 2015) – Sekitar 64% dari total bahan baku, bahan penolong, serta barang modal dari industri nasional masih bergantung pada impor untuk mendukung proses produksi, menurut data Kementerian Perindustrian. Karena itu, mayoritas industri rentan terhadap fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Pada 25 Agustus 2015, kurs rupiah ditutup kian lemah, mencapai Rp14.096/US$, melemah 4 poin dari posisi sehari sebelumnya Rp14.054/US$. Itu berarti, kurs rupiah terhadap dolar AS pada posisi Rp 14.096/US$ telah melemah 20,3% dibanding hari yang sama tahun lalu (15/8/2014) di posisi Rp 11.714/US$, mengutip data Bloomberg.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang diperoleh Duniaindustri.com, rata-rata impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal itu berasal dari sembilan sektor industri yakni perrnesinan dan logam, otomotif, elektronik, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lain, serta pulp dan kertas.
Sekitar 64% industri itu mendominasi nilai produksi industri nasional sebesar 80% serta menyumbang 65% penyerapan tenaga kerja. Hal itu menunjukkan peran strategis dari sembilan sektor industri tersebut.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, neraca perdagangan enam dari sembilan industri itu ternyata defisit karena impor lebih besar dibandingkan ekspor. Total impor bahan baku dan bahan penolong dari 64% industri nasional itu mencapai sekitar 67,9%, impor barang modalnya mencapai 24,6%, dan impor barang konsumsinya 7,5%.
Menyadari hal itu, pemerintah ingin segera mengatasi masalah tersebut karena menjadi prioritas Kementerian Perindustrian. Salah satu caranya mempercepat program hilirisasi agar ketergantungan bahan baku impor semakin kecil.
Selama ini, banyak sumber daya alam Indonesia baik di bidang agro maupun mineral diekspor dalam keadaan mentah, kemudian diolah di negara lain menjadi barang semijadi, dan diimpor ke Indonesia sebagai bahan baku atau bahan penolong. Karena itu, pemerintah mengamanatkan bahan mentah wajib diolah di dalam negeri agar industri hilirnya tumbuh dengan struktur yang kuat.
Jual Rupiah
Situasi dan kondisi ekonomi Indonesia kian memburuk dari rentetan sentimen negatif yang bersumber dari dalam maupun luar negeri, terutama China. Perekonomian yang memburuk dilihat dari kurs rupiah yang terjun bebas ke level Rp 14.000/US$, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok dalam ke level 4.109 poin, dan gelombang PHK yang menghantui sektor industri.
Seiring dengan itu, raksasa investasi global, JP Morgan, menyarankan investor untuk keluar dari Indonesia dengan melepaskan rupiah dan obligasi Indonesia. Hal ini semakin mengancam nilai tukar rupiah dan diprediksi menyentuh Rp 14.300/US$. JP Morgan juga memangkas prospek obligasi Indonesia dari overweight menjadi sell.
Investor asing sejauh ini mencetak rekor dalam kepemilikan obligasi Indonesia, di samping pada saat yang sama menderita kerugian. Sebagaimana dikutip dari Barrons.com, obligasi rupiah dengan lindung nilai telah turun sebesar 5% dalam tahun ini, sedangkan yang tanpa lindung nilai melemah hingga 10%.
Namun, yang menarik, portofolio investor asing pada obligasi Indonesia sebesar Rp 534 triliun atau mendekati rekor beberapa waktu lalu di posisi Rp 541 triliun. Hal ini lantaran Indonesia lebih baik dari negara emerging market lain, seperti Turki, Afrika Selatan, serta Brasil, pada tahun ini. “Namun, tiga hal berikut yang membuat kami mengubah rekomendasi (atas Indonesia),” tulis analis JP Morgan, Arthur Luk dan Bert Gochet.
Pertama, langkah Tiongkok melakukan devaluasi atas yuan memperburuk outlook mata uang negara-negara di Asia. JP Morgan menyatakan, rupiah telah anjlok hingga menyentuh level terendahnya dan pada hari ini, Senin, melemah hingga 1,2% dan diperdagangkan di posisi Rp 13.995/US$. Atas pertimbangan itu, JP Morgan meramal nilai tukar rupiah akan turun lebih dalam hingga Rp 14.300/US$ pada kuartal IV.
Kedua, investor asing juga mulai beramai-ramai melepas obligasi dari emerging market, dengan dana yang telah keluar mencapai US$ 2 miliar.
Ketiga, kebijakan Pemerintah Indonesia juga tidak terlalu banyak membantu. Alih-alih melakukan reformasi fiskal, justru Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan defisit anggaran. “Sebelumnya, kenaikan pinjaman sebesar 10% telah diumumkan dalam RAPBN tahun depan,” tulis analis JP Morgan tersebut.(*/berbagai sumber)