Duniaindustri.com (November 2014) – Sekitar 45% dari total kebun sawit di Indonesia dikuasai oleh petani kelapa sawit. Menurut data Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), jumlah unit usaha petani sawit terus meningkat dari 1990 sampai 2013.
Pada 1990, jumlah unit usaha petani sawit baru mencapai 142 unit dengan luas 291,33 ribu hektare. Jumlah tersebut meningkat signifikan di 2013 menjadi 3.703 unit usaha dengan luas kebun sawit sebesar 3,79 juta hektare.
Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) mengatakan dari total luas kebun sawit di Indonesia, petani menguasai 45% lahan kebun sawit, ditambah BUMN 10%, dan swasta 45%. Dari jumlah itu, swasta terbagi dua, asing 30% dan sisanya lokal. Asing juga masuk ke perusahaan-perusahaan sawit lokal melalui kepemilikan di pasar modal.
Ke depan, diproyeksikan penguasaan lahan sawit oleh petani akan meningkat menjadi 51% pada 2020 seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan program kemitraan korporasi dengan petani plasma.
Tungkot menilai penguasaan lahan sawit oleh swasta asing sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku khususnya Undang-Undang Penanaman Modal dan regulasi lainnya. “Pemerintahaan baru mestinya lebih diarahkan kepada percepatan hilirisasi dan pengawasan kemitraan korporasi dengan petani plasma,” ujarnya.
Dia juga membantah jika penguasaan asing mencapai 95% dari total kebun sawit di Indonesia. Dominasi petani, BUMN, dan swasta lokal masih cukup solid untuk membendung agresivitas investor asing. “Jadi data yang menyebutkan penguasaan asing hingga 95% perlu dipertanyakan,” katanya.
Menurut dia, untuk pengembangan ke depan, pemerintah perlu membuat arah kebijakan yang jelas sehingga dapat mengatur harmonisasi peran investor asing. PASPI menilai arah kebijakan penguatan hilirisasi industri sawit dan percepatan mandatori biodiesel sudah tepat. “Jika investor asing yang masuk ke Indonesia berkomitmen tinggi terhadap pembangunan perekonomian daerah, taat hukum, taat pajak, masak ditolak,” ujarnya.
Tungkot juga menekankan PASPI ikut mendorong perusahaan sawit agar taat pajak dan mematuhi regulasi yang ada.
Firman Subagyo, anggota Komisi IV DPR RI menilai, perbedaan data terkait penguasaan asing di perkebunan sawit di Indonesia perlu divalidasi agar tidak menyebabkan konflik yang kontraproduktif. “Pemerintah dan swasta harus koordinasi untuk menjaga iklim investasi agar tetap kondusif,” ujarnya.
Dia menilai peran investor asing mau tidak mau penting untuk mendukung perekonomian nasional dan sesuai regulasi yang ada. Pemerintah sebenarnya memiliki instrumen untuk mengarahkan investasi asing agar bermanfaat optimal bagi perkembangan industri perkebunan sawit nasional.
Isran Noor, Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), menjelaskan perekonomian daerah sangat terbantu oleh keberadaan industri sawit. Awalnya, ketika perkebunan sawit masuk ke Kutai Timur, masyarakat setempat masih belum percaya. “Bahkan ketika itu benih sawit yang diberikan dinas perkebunan secara cuma-cuma idak dimanfaatkan. Yang mau mengolahnya justru penduduk pendatang terutama dari Jawa,” ujar Bupati Kutai Timur itu.
Setelah lima tahun berjalan, lanjut dia, masyarakat petani berebut memanfaatkan lahannya untuk perkebunan sawit. Dampaknya, selain menggerakkan perekonomian daerah, harga lahan meningkat drastis. Seiring dengan itu banyak perusahaan perkebunan sawit masuk ke Kutai Timur.
Menurut dia, keberadaan perusahaan sawit juga berdampak positif bagi perekonomian daerah dan petani swadaya. Hasil tandan buah segar (TBS) petani swadaya diserap oleh pabrik yang dimiliki perusahaan besar. “Kalau tidak ada pabrik, hasil TBS petani akan percuma, tidak bisa diolah,” ujarnya.
Di samping itu, pabrik dari perusahaan perkebunan menyerap tenaga kerja lokal dan meningkatkan APBD. “Sektor perkebunan sawit di Kutai Timur paling banyak menyerap tenaga kerja, melampaui sektor tambang. Makanya saya mati-matian melindungi perkebunan sawit karena mayoritas rakyat saya menggantungkan hidup di kebun sawit,” paparnya.(*)