Duniaindustri (November 2012) – Sebanyak 23 asosiasi industri antara lain industri makanan dan minuman, tekstil, sepatu, mainan, dan pengusaha kehutanan, mengancam melakukan penghentian produksi (lock-out) sebagai respons dari demo buruh yang sudah anarkis dan kepastian hukum yang tak jelas dari pemerintah.
Koordinator Forum Komunikasi Asosiasi Nasional (Forkan) Franky Sibarani mengatakan, saat ini para pengusaha sedang melakukan konsolidasi terkait rencana tersebut. Pihaknya harus melakukan persiapan gerakan mogok tersebut. Franky menuturkan pihaknya belum menentukan wilayah industri mana saja yang melakukan mogok produksi. Sampai saat ini, rencana mogok produksi belum sampai tahap nasional.
“Masih dalam persiapan. Kemungkinan daerah tertentu, intinya kami prihatin dengan sikap pemerintah,” tegas Franky.
Pekan lalu kalangan pengusaha mengancam akan menutup pabrik secara serentak. Pelaku usaha melihat aktivitas demo buruh sudah sangat merugikan perusahaan dan telah di luar batas normal. Kalangan pengusaha mengeluhkan tindakan buruh saat ini sudah mengarah kriminal antara lain pengrusakan fasilitas pabrik dan penganiayaan. Terlebih lagi, aktivitas anarkis para buruh tidak mendapatkan respons dari aparat keamanan sehingga terkesan dibiarkan.
“Kami mempertimbangkan untuk melakukan lock-out nasional apabila hukum tidak bisa ditegakkan,” kata Franky.
Aksi demo belakangan ini dinilai sebagai insenden terburuk dalam sejarah hubungan industrial yang menggangu berbagai rencana usaha dan investasi.
Aksi buruh yang cenderung anarkis terus meluas ke berbagai daerah dan lintas sektor industri. Franky mengatakan bukan hanya di kawasan Jabodetabek saja. Dia mencontohkan, industri farmasi dan industri mainan anak juga terkena dampak dari aksi-aksi ini. Penghentian produksi akibat aksi unjuk rasa ini menimbulkan kerugian hingga miliaran rupiah. Selain itu, dari terhentinya operasi pada aksi nasional 3 Oktober lalu, sebuah perusahaan produsen alas kaki merugi Rp5 miliar dalam satu hari.
Langkah lock-out akan menjadi pilihan terakhir jika pemerintah tak juga menegakkan aturan yang berlaku. “Kami akan menggunakan hak kami sesuai aturan undang-undang. Tentu ini juga akan berdampak terhadap penerimaan perusahaan dan penerimaan negara seperti pajak. Tetapi kami sudah merasa tidak berdaya,” ungkap dia.
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat meminta aparat keamanan bertindak tegas dalam menangani aksi buruh, yang melakukan pengrusakan aset-aset pabrik. Aksi tersebut telah mengancam daya saing idustri nasional dan mencoreng iklim investasi.
“Aksi buruh telah mengarah pada aksi kekerasan seperti menyandera karyawan pabrik dan mendobrak pintu pabrik, serta merusak aset pabrik lainnya. Aksi-aksi tersebut harus ditindak tegas karena sudah melanggar hukum,” katanya.
Selain merencanakan lock-out, Forkan menyatakan kesepakatan atau persetujuan antara pendemo dan perusahaan akibat tekanan dan intimidasi, batal demi hukum. Forkan memperkirakan ada sekitar 150 hingga 200 pabrik di kawasan industri Jababeka yang terpaksa menandatangani kesepakatan penetapan upah di bawah tekanan.
Tak hanya itu, beberapa perusahaan dikabarkan menyatakan niat untuk hengkang dari Indonesia. Sementara beberapa rencana perluasan pabrik ditunda bahkan mungkin dibatalkan. “Ada lima atau enam pabrik yang menyatakan akan meninggalkan Indonesia, empat di antaranya perusahaan asing dari China, Korea, dan Jepang,” ucap Franky.
Dia mengungkapkan, sebuah perusahaan alas kaki yang berencana menambah kapasitas, kini mengurungkan niat. Pabrik yang mempekerjakan 16.000 pegawai ini semula berencana menambah pegawai menjadi 50.000 orang. “Setiap penambahan 10.000 karyawan itu investasinya US$100 juta. Selain itu, berarti 34.000 orang kehilangan kesempatan kerja,” papar dia.
Franky menambahkan, bila kepastian hukum di Indonesia tak bisa ditegakkan, meskipun Indonesia disebut sebagai salah satu tujuan investasi, maka para investor asing akan lebih memilih berinvestasi di negara lain. Investor kini mulai melirik Myanmar, Kamboja, dan Bangladesh.
“Dengan ASEAN terbuka, mereka berpikir untuk apa investasi di sini kalau seperti ini. Sekarang saja kita sudah merasakan dampaknya di industri makanan dan minuman impor dari Malaysia sudah tinggi,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Binsar Marpaung memperkirakan akan ada 600.000 karyawan di industri persepatuan terancam terkena pemutusan hubungan kerja jika rencana penghentian produksi atau ‘lock-out’ nasional terjadi.
“Beberapa pabrik sepatu sudah tutup karena kondisi tidak kondusif. Di industri persepatuan ini jumlah total karyawannya ada 600.000 orang, dan itu terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika lock out nasional terjadi,” kata Binsar.
Dia mengatakan, jumlah orang yang akan terkena dampak lock-out itu bukan hanya 600.000 karyawan saja tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitar seperti tempat makan. Menurut dia, pilihan penghentian produksi itu terjadi karena selama ini iklim produksi tidak kondusif, artinya tidak ada jaminan keamanan dan kepastian hukum dari pemerintah.
“Mengapa kami sulit memenuhi tuntutan buruh, karena industri alas kaki itu “high volume” tetapi marginnya tipis,” ujarnya.
Dia mengatakan, relokasi pabrik juga akan terjadi jika iklim produksi tidak berjalan dengan baik. Menurut dia, tidak mungkin perusahaan mau pindah ke Indonesia tetapi produktivitasnya rendah.
Binsar mengatakan, target ekspor industri sepatu tahun ini tidak akan tercapai yang nilainya US$ 5 miliar. Hal itu disebabkan kondisi dalam negeri dan lesunya ekonomi dunia.
“Target sebesar US$ 5 miliar tidak akan tercapai, paling US$3,5 miliar saja sudah bagus jadi diperkirakan sama dengan tahun lalu yaitu US$3,3 miliar,” kata Binsar.(Tim redaksi 02/berbagai sumber)