Duniaindustri.com (Agustus 2015) – Akibat anjloknya harga komoditas yang diperparah oleh rendahnya permintaan pasar, sebanyak 125 perusahaan batubara di Kalimantan Timur terpaksa berhenti beroperasi. Akibatnya, 5.000 orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim, M Slamet Brotosiwoyo, hingga awal Agustus 2015, keterpurukan ekonomi belum terlihat tanda-tanda pemulihan. Masih serba tidak pasti.
“Kalau kondisi seperti ini terus, akhir tahun pasti tambah lagi perusahaan yang tutup. Perkiraan Apindo, jumlah perusahaan tutup bisa sampai 200 perusahaan sampai akhir tahun,” ujar Slamet. Selain kelesuan ekonomi, para pengusaha merasa, ada yang memperparah kesulitan pengusaha yakni besarnya beban pungutan yang ditanggung pebisnis.
Dia mengemukakan, total pungutan tersebut mencapai 11,75 persen dari beban perusahaan kepada pegawai. Sejatinya, dampak kesulitan perekonomian pada tambang batu bara sudah parah. Namun sejauh ini, PHK massal seakan tidak bergolak, karena pada pegawai yang terkena PHK umumnya pendatang dari daerah lain bahkan dari luar pulau.
Bukan hanya di sektor batubara, industri lain juga merasakan dampak perlambatan ekonomi nasiona. Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Syntethic Fiber Indonesia (Apsyfi), menjelaskan pelemahan ekonomi serta membanjirnya produk impor telah memengaruhi kinerja penjualan industri hulu tekstil yang memproduksi serat sintetis, benang, dan kain. “Penjualan kami pada semester I 2015 turun signifikan sehingga efisiensi mesti dilakukan. Ini semua akibat produk impor yang membanjir dan tidak dicegah pemerintah,” katanya.
Menurut dia, akibat penurunan penjualan, produsen tekstil hulu telah menurunkan utilisasi hingga 30%. Dengan kondisi tersebut, sekitar delapan perusahaan tekstil hulu terpaksa me-layoff sekitar 1.000 pekerja. “Sekitar 400 pekerja di-PHK dan 600 lainnya dirumahkan,” katanya.
Menghadapi hal tersebut, Apsyfi mendesak pemerintah melarang impor serat sintetis, benang, dan kain. Selain itu, pemerintah perlu memberikan keringanan pajak penjualan (PPN), penurunan tarif dasar listrik, keringanan suku bunga. “Tujuannya agar industri dapat bergerak lagi dan mencegah layoff berlanjut,” katanya.
Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menyebutkan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada industri tekstil dan garmen yang telah terjadi merupakan langkah terakhir yang harus ditempuh. Sejumlah industri tekstil yang berlokasi di Bandung dan Majalaya, Jawa Barat, telah merumahkan karyawan.
Berdasarkan data API, sekitar 60 industri yang terdapat di kedua wilayah tersebut telah merumahkan karyawan. Tindakan tersebut ditempuh menyusul anjloknya penjualan hingga 50% sepanjang periode semester I 2015 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Kondisi serupa terjadi di sektor industri sepatu. Eddy Wijanarko, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), menjelaskan penjualan sepatu pada semester I 2015 turun 40% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penurunan penjualan tersebut justru dialami industri sepatu dengan segmen kelas menengah ke bawah yang fokus pada pasar di dalam negeri. Sementara industri sepatu yang menggarap kelas menengah atas tujuan pasar ekspor masih bisa menikmati keuntungan mengikuti penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah.
Dampak lanjutan dari penurunan penjualan sepatu tersebut menurut Eddy sejumlah perusahaan mulai mengurangi produksi, karyawan pun terpaksa dirumahkan hingga terjadi PHK. Pemutusan Hubungan Kerja tidak bisa dihindari pada industri padat karya. “Ketika produksi terganggu alias terkoreksi, langsung berpengaruh terhadap para pekerja karena aktivitas berkurang,” katanya.
Penurunan penjualan juga dialami sejumlah sektor industri, meski belum mengarah pada pengurangan tenaga kerja. Di sektor otomotif, penjualan mobil di semester I 2015 menurun 18,2% menjadi 525.458 unit dibanding periode yang sama tahun lalu. Produsen mobil terpaksa menurunkan utilisasi pabrik hingga 15% untuk mengurangi tekanan overstock dan beban inventori. Sementara penjualan motor juga mengalami penurunan hingga 24,5% menjadi 3.17 juta unit di semester I tahun ini.
“Kondisi lesunya penjualan otomotif telah berlangsung lama, para produsen juga telah menurunkan utilisasi produksinya. Sepanjang Januari-Juni 2015, utilisasi produksi turun 15% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dengan lesunya penjualan otomotif tersebut, maka overstock sudah pasti ada,” ujar Jongkie D Sugiharto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).
Demikian juga penjualan alat berat yang turun 11,5% menjadi 2.256 unit pada semester I 2015 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. “Masih lesunya permintaan alat berat di sektor pertambangan sebagai dampak masih lemahnya harga komoditas barang tambang terutama batubara. Dampaknya, penjualan atau produksi alat berat domestik pada semester I 2015 turun sekitar 11,5%,” kata Jamalludin, Ketua Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi).
Pelemahan ekonomi juga menghantam industri semen nasional. Penjualan semen hingga semester I 2015 turun 3% menjadi 28,1 juta ton dibanding semester I 2014. Widodo Santoso, Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI), mengatakan turunnya penjualan semen dibanding semester I tahun lalu karena belum bergeraknya pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah, ditambah lagi dengan menurunnya pembangunan perumahan akibat pelemahan ekonomi serta pelemahan harga komoditas perkebunan.
“Akibat kondisi lemahnya permintaan semen, saat ini banyak stok klinker dan semen menumpuk di pabrik maupun gudang-gudang penyangga,” ungkap dia.(*)