Latest News
You are here: Home | Baja | US$ 8,6 Miliar Nilai Investasi Baja dan Aluminium dari Tiga Perusahaan China
US$ 8,6 Miliar Nilai Investasi Baja dan Aluminium dari Tiga Perusahaan China

US$ 8,6 Miliar Nilai Investasi Baja dan Aluminium dari Tiga Perusahaan China

Duniaindustri (Agustus 2012) — Tiga perusahaan China, yakni Oriental Mining and Minerals Resaurces Co Ltd (OMMR), Rui Tong Investment Co Ltd (Rui Tong), dan Beijing Shuang Zhong Li Investment Management Co Ltd, akan membenamkan investasi sekitar US$ 8,6 miliar di sektor baja dan aluminium. Ketiga perusahaan tersebut menilai pasar baja dan aluminium Indonesia cukup besar sehingga membutuhkan investasi baru.

Oriental Mining and Minerals Resaurces Co Ltd dan Rui Tong Investment Co Ltd akan membangun pabrik pengolahan baja dengan teknologi direct reduced iron (DRI) dengan nilai investasi sebesar US$ 1,5 miliar. “Nilai investasi pabrik DRI US$ 5,1 miliar dan memiliki kapasitas total 6 juta ton per tahun,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat.

Pabrik pengolahan baja itu diperkirakan dibangun dalam empat tahap. Untuk tahap pertama, kapasitas dirancang 0,6 juta ton pada 2016, tahap kedua sebesar 1,4 ton di tahun 2017, tahap ketiga 2 juta ton pada 2018, dan tahap keempat sebanyak 2 juta ton pada 2019.

Pabrik DRI tersebut mengadopsi teknologi yang telah diterapkan di dunia dan dapat menjadi jembatan untuk teknologi pengelolaan besi baja yang lebih maju.

Sedangkan Beijing Shuang Zhong Li Investment Management Co Ltd berencana menanamkan investasi US$ 7,1 miliar untuk membangun pabrik pemurnian alumina dan smelter aluminium. Pabrik baru itu dirancang berkapasitas total 1,8 juta ton yang terbagi menjadi tiga tahap.

Tahap satu pada 2015 sebanyak 0,5 juta ton alumina dan power plant 50 megawatt. Tahap kedua pada 2018 memproduksi 0,6 juta ton alumina dan 0,3 juta ton ingot aluminium serta power plant 600 MW. Sedangkan tahap ketiga pada 2020 sebesar 0,6 juta ton, 0,3 juta ton ingot aluminium dan power plant 600 MW.

Investasi baja skala besar itu dapat mengusik tahta raja baja di Indonesia yang saat ini dipegang PT Krakatau Steel Tbk, BUMN produsen baja. Krakatau Steel menjadi pemimpin pasar baja di Indonesia dengan menguasai 41% pasar baja canai panas (hot rolled coils/HRC) di Indonesia pada 2011. Total permintaan HRC di Indonesia pada 2011 mencapai 3,6 juta ton.

Data yang diperoleh duniaindustri.com dari CRU Strategies Limited (perusahaan riset dan informasi investasi) yang diolah oleh Krakatau Steel menyebutkan, KS juga memimpin pasar baja canai dingin (cold rolled coils/CRC) di Indonesia dengan pangsa pasar 24% di 2011. Total permintaan baja jenis CRC di Indonesia pada 2011 mencapai 1,7 juta ton.

Untuk baja jenis HRC, KS menjadi pemimpin pasar dengan kapasitas produksi 2,4 juta ton per tahun di 2011, mengungguli PT Gunung Raja Paksi dengan kapasitas produksi 700 ribu ton per tahun, PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk dengan kapasitas 350 ribu ton, dan PT Jaya Pari Steel Tbk dengan kapasitas 100 ribu ton per tahun.

Di baja jenis CRC, KS menjadi pemimpin pasar dengan kapasitas produksi 850 ribu ton per tahun di 2011, diikuti PT Essar Indonesia dengan kapasitas 400 ribu ton per tahun, PT Little Giant Steel yang berkapasitas 230 ribu ton, dan PT Raja Besi yang berkapasitas produksi 150 ribu ton.

Berdasarkan data South East Asia Iron & Steel Institute, total permintaan produk baja akhir di Indonesia pada 2011 diperkirakan mencapai 9,9 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 54% masih dipasok impor. Di 2010, konsumsi produk baja akhir di negeri ini mencapai 9 juta ton, dengan porsi impor sebesar 55%.

Krakatau Steel menargetkan pendapatan di 2012 sebesar US$2,3 miliar atau setara Rp20,9 triliun (nilai tukar Rp 9.100/US$), meningkat 12%-15% dibandingkan tahun lalu Rp17,91 triliun. Harga hot rolled coil (HRC) yang diperkirakan naik 10%-12% akan menjadi penopangnya.

Catatan duniaindustri.com menyebutkan, pasar baja di Indonesia diperkirakan naik 7,9% di 2012 menjadi 10,25 juta ton dibanding 2011. Jika harga baja dunia—menurut Middle East Steel—mencapai US$ 690-720 per ton di Januari 2012, maka pasar baja di Indonesia ditaksir senilai US$ 7,38 miliar atau Rp 66,4 triliun pada tahun ini.

Nilai pasar baja di Indonesia dihitung tim redaksi duniaindustri.com berdasarkan data World Steel yang disesuaikan dengan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA). Harga baja yang digunakan merujuk pada data Middle East Steel—lembaga riset baja—yang menyebutkan harga baja canai panas (hot rolled coils/HRC) yang menjadi patokan harga baja dunia mencapai US$ 690-720 per ton.

Nilai pasar baja di Indonesia di 2012 diperkirakan naik 4,2% dibanding 2011 sebesar Rp 63,7 triliun. Peningkatan dipicu oleh konsumsi baja di sektor konstruksi dan manufaktur yang diperkirakan naik sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diramalkan bisa mencapai 6,5%. Sektor konstruksi diperkirakan tumbuh 7,3%, sedangkan dan sektor manufaktur ditargetkan tumbuh di atas 6,5%.

Khusus kebutuhan baja di dalam negeri, selain ditopang pertumbuhan ekonomi, konsumsi baja juga didorong oleh peningkatan produksi otomotif. Indonesia termasuk salah satu konsumen sekaligus produsen baja yang besar. Namun yang terjadi saat ini, produksi baja nasional tidak pernah seimbang dengan konsumsi kebutuhan dalam negeri.

World Steel Association menyatakan produksi baja di Indonesia berkisar antara 3,5 – 4,2 juta ton per tahun sepanjang 2005-2009. Dengan produksi sebesar itu, Indonesia menempati urutan ke-34 produsen baja terbesar di dunia.

Asosiasi Baja Dunia merekap data produksi baja dari 170 perusahaan baja skala besar, termasuk 18 dari 20 perusahaan baja terbesar di dunia. Data produksi baja dari Asosiasi Baja Dunia merepresentasikan 85% produksi baja global.

Pada tahun ini, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi baja nasional diperkirakan mencapai 6-6,5 juta ton. Sehingga masih terjadi defisit pasokan baja di dalam negeri mencapai 3-3,5 juta ton. Defisit pasokan itu terpaksa harus dipenuhi dari impor.(Tim redaksi 01)