Latest News
You are here: Home | World | Saham-Saham Batubara Rontok, Indo Tambang Turun 11,7% Dalam Sehari
Saham-Saham Batubara Rontok, Indo Tambang Turun 11,7% Dalam Sehari

Saham-Saham Batubara Rontok, Indo Tambang Turun 11,7% Dalam Sehari

Duniaindustri.com (Oktober 2014) – Saham-saham batubara turun tajam pada perdagangan bursa saham Rabu (15/10) sebagai imbas anjloknya harga minyak hampir lima persen atau terendah dalam dua tahun terakhir. Saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) turun hingga 11,7% menjadi Rp 19.700, ikut memimpin pelemahan saham-saham batubara di Bursa Efek Indonesia.

Saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) anjlok 6,9% menjadi Rp 940 per saham. Saham PT Harum Energy Tbk (HRUM) juga terkoreksi 5,6% menjadi Rp 1.595. Demikian juga saham BUMN batubara, PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) turun 5% menjadi Rp 11.375. Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) turun 6,2% menjadi Rp 122. Saham PT Indika Energy Tbk (INDY) turun 6,9% menjadi Rp 610.

Harga batubara di bursa ICE Futures pengiriman November 2014 berada di US$ 64,70 per ton pada Senin (13/10), turun 1,14% dari sehari sebelumnya. Harga batubara terus tertekan. Sejak akhir tahun 2013, harga sudah terpangkas 23,66%.

Guntur Tri Hariyanto, analisi Pefindo, menilai, harga batubara jatuh semakin dalam setelah Pemerintah Tiongkok mengumumkan pemberlakuan pajak impor batubara yang sebelumnya telah dihapuskan sama sekali pada tahun 2007. Pajak ini bakal berlaku mulai 15 Oktober mendatang. Besaran tarif adalah 3% untuk anthracite coal dan coking coal dan 6% untuk non-coking coal.

Pajak impor ini untuk membantu perusahaan tambang Tiongkok yang tengah menghadapi masa sulit. Diperkirakan sekitar 70% perusahaan pertambangan di China merugi. Sebagian perusahaan terlambat membayar atau bahkan memotong gaji karyawan mereka. “Kebijakan ini akan berdampak besar bagi Australia dan Rusia sebagai pemasok utama batubara ke Tiongkok. Tetapi tidak berdampak bagi Indonesia karena terlindungi perjanjian perdagangan bebas,” kata Guntur.

Analis komoditas dan Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka Ibrahim menambahkan, pelemahan harga batubara juga dibayangi oleh tingkat revisi Bank Dunia terkait pertumbuhan perekonomian global tahun 2014, dari 4% menjadi 3,8%. “Tahun 2014 menjadi tahun yang krusial untuk harga komoditas,” kata Ibrahim.

Perekonomian Tiongkok yang merupakan salah satu konsumen terbesar sedang melambat sehingga mereka permintaan batubara berkurang. “Selama perekonomian China belum pulih, harga batubara masih tertekan,” kata Ibrahim. Selain itu, penguatan dollar AS juga menjadi sentimen negatif bagi batubara. Apalagi Bank Sentral AS bakal menaikkan suku bunga yang bakal membuat dollar AS makin perkasa. Penguatan dollar AS membuat harga komoditas semakin jatuh.

Harga batubara yang turun juga dipengaruhi pelemahan harga minyak mentah dunia.
Harga minyak mentah AS anjlok hampir lima persen pada Selasa (14/10) atau Rabu pagi (15/10) WIB, karena Badan Energi Internasional (IEA) memangkas perkiraan permintaan minyaknya mengingat perlambatan pertumbuhan ekonomi di Asia dan Eropa.

Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November jatuh 3,90 dolar AS menjadi ditutup pada 81,84 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, sebuah penurunan sebesar 4,5 persen.

Patokan Eropa, minyak mentah Brent untuk pengiriman November anjlok 3,85 dolar AS atau 4,3 persen, menjadi menetap di 85,04 dolar AS per barel, tingkat terendah sejak November 2010.

Sejak pertengahan Juni, WTI telah jatuh 24 persen dan Brent telah turun 27 persen. IEA mengumumkan dalam laporan pasar Oktober pada Selasa bahwa mereka telah memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak global untuk ketiga bulan berturut-turut.

Untuk tahun ini, mereka memperkirakan permintaan meningkat dengan hanya 700.000 barel per hari menjadi 92,4 juta barel per hari (mbpd), yang 200.000 barel per hari kurang dari perkiraan pertumbuhan sebelumnya.

Untuk 2015, lembaga memangkas estimasi permintaan global dari 93,8 juta barel per hari menjadi 93,5 juta barel per hari. IEA juga menyebutkan “berlimpahnya” volume minyak mentah yang tersedia sebagai penyeret harga minyak turun, mengatakan September bisa berubah menjadi “permukaan air pasang” untuk pasokan.(*/berbagai sumber)