Latest News
You are here: Home | Umum | Rupiah Tembus Rp 14.052/US$, Pengusaha Menilai Tekanan Bisa Berlanjut
Rupiah Tembus Rp 14.052/US$, Pengusaha Menilai Tekanan Bisa Berlanjut

Rupiah Tembus Rp 14.052/US$, Pengusaha Menilai Tekanan Bisa Berlanjut

Duniaindustri.com (Mei 2018) – Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) melanjutkan pelemahan di pasar spot pada Rabu (9/5/2018) siang ke level Rp 14.045/US$, setelah sehari sebelumnya menembus level Rp14.052/US$. Akumulasi faktor eksternal terutama di Amerika Serikat serta tingkat impor domestik yang cenderung tinggi diduga menjadi pemicu pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Data Yahoo Finance mencatat, rupiah pada Selasa petang ini terdepresiasi 53 poin atau 0,38% ke Rp14.048/US$, dibanding penutupan sehari sebelumnya di Rp13.995/US$. Melansir dari Reuters, dolar AS mendekati level tertinggi empat bulan pada hari ini, berkat hasil treasury yang lebih tinggi dan prospek ekonomi AS yang optimis. Kenaikan hasil treasury AS dan data ekonomi yang solid, telah mendorong dolar terus menguat dalam beberapa pekan terakhir. Ditambah data tenaga kerja AS mendukung ekspektasi agar The Fed kembali menaikkan suku bunga.

Penguatan dolar AS membuat rupiah menjadi mata uang paling melemah terparah di kawasan Asia pada hari ini, dengan depresiasi 0,36%. Menyusul baht Thailand -0,16% dan ringgit Malaysia -0,13%.

Dari faktor domestik, rupiah semakin tertekan karena posisi cadangan devisa akhir April 2018 hanya US$ 124,9 miliar, turun dari posisi Maret US$ 126,0 miliar. Dan kemarin, BPS merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2018 sebesar 5,06%, jauh di bawah ekspektasi pasar yang mencapai 5,18%.

Analis Reliance Sekuritas Lanjar Nafi mengatakan, terperosoknya rupiah merupakan imbas dari kondisi makroekonomi Indonesia yang tidak sesuai harapan. Salah satunya, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) pada kuartal I/2018 yang hanya 5,06%. “PDB yang di bawah ekspektasi. Surveinya 5,19%,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution menanggapi pelemahan rupiah yang menembus Rp14.000/US$, jangan langsung dianggap aneh. “Ya memang tembus Rp14.000/US$. Tapi tidak berarti akan bertahan di angka itu. BI akan melakukan langkah-langkah walaupun BI itu akan menunggu rapat RDG bulanan untuk mengambil kebijakan,” tandasnya pada Selasa (8/5).

Tekanan Berlanjut

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah yang menembus Rp 14.050/US$ memang sudah terprediksi sebelumnya. “Kami sudah prediksi rupiah sebelumnya pasti mengalami tekanan, terutama bulan-bulan antara Mei-Juni 2018 (mendatang),” ujar Haryadi Sukamdani, Ketua Umum APindo di Jakarta, kemarin.

Selain itu, beberapa perusahaan asing di Indonesia yang melakukan pembagian dividen di awal tahun, pasti akan melakukan konversi rupiah ke mata uang masing-masing negara. Hal ini pun mendorong pelemahan rupiah.

Di sisi lain, kinerja ekspor relatif tak mengalami pertumbuhan signifikan dari sisi volume. Padahal impor bahan baku cenderung cukup dominan, sehingga tingkat impor lebih besar ketimbang ekspor.

“Sehingga tekanan ini yang kita pandang akan masih akan berlanjut. Yang paling berpengaruh kebijakan Amerika Serikat itu sendiri,” ujarnya.

Kendati demikian, Hariyadi menilai, meski terprediksi namun pelemahan ini kurang diantisipasi. Sebab, dengan menengok ekonomi AS yang diprediksi terus mengalami perbaikan, tentu sudah diketahui hal itu akan berdampak pada pelemahan mata uang negara lainnya, termasuk Indonesia.

“Kita kurang antisipasi menyiapkan segala sesuatunya. Dan sebetulnya kita sudah warning, ini terlihat dari gejala pelemahan di sektor ritel, terjadi pelemahan di industri, kan mengalami penyusutan juga, dibanding tahun sebelumnya kontribusi stagnan,” jelasnya.

Oleh sebab itu, meski kondisi makroekonomi Indonesia cenderung terjaga, namun tetap perlu mengantisipasi faktor global. Perbaikan nilai tukar Rupiah, menurutnya akan terjadi secara alamiah. Seiring dengan kondisi ekonomi global, terutama AS.

“Jadi memang kita harus berhati-hati, bahwa walaupun kita kuat (makroekonomi) tapi di lapangan itu faktor global itu cukup dominan,” imbuhnya.

Namun, di sisi lain menguatnya US$ menjadi kondisi untuk lebih mendorong tingkat ekspor. Sementara, untuk impor harus diupayakan untuk tetap berjalan sesuai ketentuan yang ditetapkan pemerintah.

“Ekspor pasti akan menjadi motivasi kita (untuk didorong) dan untuk impornya akan berupaya supaya tidak keluar daripada norma yang sudah diatur dalam menghitung biaya yang ada,” pungkasnya.(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)

Riset Peta Persaingan Industri Semen

datapedia

DIVESTAMA2 (1)

desainbagus kecil

d-store

CONTACT US BY SOCIAL MEDIA:

TwitterLogo Like-us-on-Facebook

logo slideshare google-plus-logo

watch_us_on_youtube