Latest News
You are here: Home | Agroindustri | Rights Issue Jumbo BW Plantation, Antara Peluang Investasi atau Spekulasi
Rights Issue Jumbo BW Plantation, Antara Peluang Investasi atau Spekulasi

Rights Issue Jumbo BW Plantation, Antara Peluang Investasi atau Spekulasi

Duniaindustri.com (September 2014) – PT BW Plantation Tbk (BWPT), emiten perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, akan melakukan Penawaran Umum Terbatas (PUT) melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue sekitar Rp 11,1 triliun. Setelah manajemen menyebut rencana tersebut, harga saham BWPT langsung fluktuatif.

Sempat turun auto reject dua hari perdagangan dan anjlok lebih dari 51%, saham BWPT bangkit dan naik 24% pada Selasa (30/9). Berbagai spekulasi terkait aksi korporasi masih hangat dibicarakan hingga saat ini.

Adalah Grup Rajawali di bawah konglomerat Peter Sondakh yang diduga berada di belakang rights issue jumbo ini. Sebelum rights issue, Grup Rajawali mengakuisisi 21% saham BWPT. Dalam rights issue itu juga, Grup Rajawali menjadi stanby buyer dan memiliki kepentingan untuk memuluskan aksi korporasi tersebut karena dananya akan dipakai untuk mengakuisisi Green Eagle Limited, perusahaan holding sawit milik Grup Rajawali yang listing di Singapura.

Analis First Asia Capital David Sutyanto menilai aksi rights issue ini merugikan investor. “Potensi dilusinya banyak (85,7%),” ujar dia.

Meskipun pemberian harga eksekusinya di bawah harga pasar, David bilang pemodal harus membeli 6 saham BWPT lagi. Jika mereka tak mau mengeksekusi haknya, maka ini akan menggerus kepemilikan saham.

BWPT merupakan satu dari sekian banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jika dibandingkan dengan beberapa raksasa sawit seperti PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), maka BWPT hanyalah perusahaan sawit kelas menengah dengan total luas lahan tertanam 70 ribu hektar pada akhir Juni 2014, sudah termasuk kebun plasma (SMAR, atau dalam hal ini induknya yakni Golden Agri Resources yang terdaftar di Singapura, merupakan perusahaan sawit terbesar di Indonesia dari sisi luas lahan tertanam, yang mencapai 460 ribu hektar pada akhir tahun 2013).

Ketika perusahaan merilis laporan keuangannya untuk periode Kuartal I 2014 pada awal April 2014, sahamnya sudah berada di level harga 1,300-an, yang mencerminkan PBV 2.7 kali berdasarkan posisi ekuitas perusahaan ketika itu.

Dengan catatan right issue-nya dilaksanakan pada harga tertinggi, yakni Rp411 per saham, maka nilai ekuitas BWPT akan memperoleh tambahan modal senilai Rp11.1 trilyun. Karena posisi ekuitas BWPT saat ini adalah Rp2.3 trilyun, maka setelah right issue, nilai ekuitas tersebut akan menjadi Rp13.4 trilyun. Jumlah saham BWPT setelah right issue adalah 31.5 milyar lembar, dikali harga sahamnya saat ini yakni 460, maka market cap-nya adalah Rp14.5 trilyun. Maka PBV-nya = 13.4 / 14.5 = 1.1 kali, atau memang sudah lebih murah dibanding sebelumnya, namun belum terlalu murah mengingat BWPT tidak memiliki fundamental historis yang terlalu bagus. Pada masa puncak kejayaan sawit di tahun 2011, BWPT hanya mencatat ROE 22.4% ketika banyak perusahaan sawit lainnya mencatat ROE diatas 30%.

Selain itu, yang perlu diperhatikan disini adalah bagaimana latar belakang kinerja dari Green Eagle, yakni anak usaha dari Grup Rajawali milik pengusaha Peter Sondakh, yang khusus bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Seperti yang anda ketahui, right issue BWPT ini sebenarnya bertujuan untuk memasukkan perusahaan-perusahaan sawit milik Green Eagle Holdings Pte. Ltd. (terdaftar di Singapura) ke bursa saham Indonesia melalui BWPT, alias backdoor listing, karena pembeli siaga right issue-nya adalah pihak Grup Rajawali sendiri, dalam hal ini PT Rajawali Capital (jadi Grup Rajawali keluar duit sekian trilyun untuk mengakuisisi Green Eagle melalui BWPT. Namun karena Green Eagle sejak awal merupakan milik mereka sendiri, maka sebenarnya tidak ada uang yang berpindah tangan).

Melalui Green Eagle, Grup Rajawali memiliki lahan perkebunan kelapa sawit di tiga belas lokasi yang berbeda di Indonesia, termasuk di Papua. Seluruh lahan perkebunan ini akan disatukan (menjadi anak-anak usaha dari satu perusahaan induk) dengan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit milik BWPT, sehingga gabungan antara BWPT dan Geen Eagle akan memiliki lahan perkebunan kelapa sawit (tertanam) seluas total 147 ribu hektar, termasuk kebun plasma. Dengan demikian, BWPT akan menjadi salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang cukup besar di BEI, meski nama ‘BW Plantation’ kemungkinan akan diganti, mungkin menjadi ‘BW Eagle Plantation’ atau semacamnya. Karena pasca right issue, pemegang saham pengendali atas BWPT bukan lagi PT BW Investindo, melainkan Grup Rajawali melalui PT Rajawali Capital.

Nah, ada beberapa hal yang perlu anda perhatikan terkait right issue BWPT ini.

Pertama, akuisisi BWPT (atau lebih tepatnya akuisisi PT Rajawali Capital melalui BWPT) terhadap Green Eagle dilakukan pada harga yang bisa dikatakan cukup mahal. BWPT mengakuisisi 100% saham Green Eagle senilai Rp10.5 trilyun. Sementara menurut pihak penilai independen yang ditunjuk perusahaan, nilai aset bersih Green Eagle secara keseluruhan hanya Rp8.5 trilyun. Selain itu berdasarkan laporan keuangan terakhirnya per tanggal 30 Juni 2014, nilai ekuitas Green Eagle tercatat hanya Rp2.2 trilyun. Jadi bisa dibilang bahwa BWPT mengakuisisi Green Eagle pada harga premium (actually, mau akuisisinya dilakukan di harga yang lebih tinggi lagi dari Rp10.5 trilyun sekalipun sebenarnya nggak masalah bukan? Karena toh duitnya masuk ke kantorng mereka juga). Meski transaksi akuisisi tersebut tetap dianggap wajar (oleh penilai independen tadi) karena alasan tertentu, namun hal ini menunjukkan bahwa valuasi saham BWPT pasca right issue, yang sudah kita bahas tadi diatas (PBV-nya 1.1 kali pada harga 460), mungkin tidak serendah kelihatannya.

Perlu diperhatikan, Green Eagle belum memiliki track record kinerja yang bagus. Green Eagle baru didirikan pada bulan Desember 2010 lalu sebagai kendaraan untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan sawit, dimana Grup Rajawali melalui Green Eagle kemudian mengakuisisi empat belas perusahaan sawit yang berbeda. Sebagai perusahaan start-up dengan modal terbatas (namun dengan ambisi yang tidak terbatas), banyak dari aktivitas akuisisi tersebut dibiayai oleh utang bank (dan mungkin juga obligasi), sehingga Green Eagle memiliki banyak sekali utang di neracanya. Alhasil, di tahun-tahun pertamanya, perusahaan masih mengalami kerugian yang rata-rata cukup besar, termasuk rugi bersih komprehensif senilai Rp162 milyar di tahun 2013, karena tingginya beban bunga pinjaman sementara pendapatan belum begitu besar. Barulah pada tahun 2014 ini, Green Eagle tampak mulai menghasilkan, dengan mencatat laba bersih komprehensif Rp217 milyar pada Semester Pertama 2014. But still, dengan kinerja masa lalu yang sama sekali tidak meyakinkan, belum termasuk utang yang menggunung (posisi DER terakhir Green Eagle adalah 2.9 kali), maka tidak ada jaminan bahwa kedepannya Green Eagle tidak bakal mengalami rugi lagi.

Melihat fakta diatas, maka cukup jelas bahwa saham BWPT, yang nantinya bukan lagi BW Plantation melainkan BW Eagle Plantation, belum cukup layak untuk investasi, karena selain harganya agak dimark-up, barangnya juga nggak atau belum bisa dikatakan bagus (BWPT-nya sih lumayan, tapi Green Eagle-nya tidak).

Itu yang pertama. Yang kedua, aksi korporasi Grup Rajawali melalui BWPT ini mengingatkan pada aksi korporasi sebelumnya yang sangat mirip, yakni ketika Grup Rajawali mengakuisisi PT Eatertainment International (SMMT), sebuah perusahaan kecil nan sakit-sakitan yang merupakan pemilik franchise Paparons Pizza. Setelah diambil alih oleh Rajawali, SMMT menjual Paparons Pizza-nya, lalu dijadikan sebagai perusahaan batubara dengan nama PT Golden Eagle Energy (kodenya masih sama, SMMT). Melalui SMMT, Grup Rajawali kemudian menerbitkan 820 juta lembar saham baru alias right issue senilai Rp410 milyar (harga saham right issue-nya Rp500 per saham), dimana dananya digunakan untuk mengakuisisi dan melakukan penempatan modal di dua perusahaan batubara, yakni PT Naga Mas Makmur Jaya, dan PT Rajawali Resources. Sekali lagi, karena kedua perusahaan tersebut sejak awal dimiliki oleh Grup Rajawali sendiri, maka tidak ada uang yang berpindah tangan.

Karena nilai right issue-nya relatif kecil (tidak seperti BWPT ini yang besar sekali), dan karena SMMT juga merupakan saham kecil yang sama sekali tidak likuid, maka backdoor listing Grup Rajawali melalui SMMT ini tidak begitu diperhatikan pasar. Dari seluruh saham anyar yang diterbitkan, boleh dibilang semuanya diambil oleh Grup Rajawali sendiri melalui perusahaan-perusahaan afiliasinya, sehingga kepemilikan publik terhadap SMMT terbilang sedikit, kalau tidak mau dibilang nol. Namun disinilah menariknya: Pasca right issue, saham SMMT yang tadinya boleh dibilang mati sama sekali, ternyata terus bergerak naik dari harga right issue-nya yakni 500, hingga sekarang sudah menembus 1,800, dan trend-nya terus bergerak naik. Kalau melihat pola pergerakannya yang tidak wajar (stagnan di rentang 1,600 – 1,700 selama setahun terakhir, nyaris tanpa fluktuasi sama sekali meski IHSG tentunya selalu naik dan turun selama periode setahun tersebut), dan fundamentalnya yang boleh dikatakan nol besar (sampai Kuartal II 2014, SMMT hanya mencatat laba bersih Rp6 milyar, alias keciiiiil sekali), maka cukup jelas bahwa yang menaikkan SMMT selama ini adalah pemiliknya sendiri.(*/berbagai sumber)