Latest News
You are here: Home | Tekstil | Penjualan Anjlok, Produsen Kain Poliester PHK 40% Pekerja
Penjualan Anjlok, Produsen Kain Poliester PHK 40% Pekerja

Penjualan Anjlok, Produsen Kain Poliester PHK 40% Pekerja

Duniaindustri.com (Januari 2014)— PT Roda Vivatex Tbk (RDTX), produsen kain tenun filamen poliester, berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) 40% jumlah karyawan akibat kondisi pasar lokal yang lesu, kenaikan upah buruh, dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Direktur Utama Roda Vivatex Wiriady Widjaja menuturkan hal itu merupakan tahap pertama yang harus dilakukan menghadapi hantaman bertubi-tubi yang dialami perseroan. “Kami berencana mengurangi jumlah karyawan secara bertahap di tengah kenaikan upah buruh, dan pelemahan nilai tukar rupiah ini,” ujarnya dalam keterbukaan informasi.

Kenaikan upah minimum regional/kabupaten memaksa perusahaan untuk mengurangi produksi. Menurut dia, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami cobaan yang bertubi-tubi sepanjang tahun lalu dan berlanjut di tahun ini.

Keadaan pasar domestik yang lesu membuat order penjualan perseroan mengalami penurunan drastis hampir 50%. Selain itu, dampak depresiasi mata uang rupiah akhir-akhir ini membuat harga bahan baku benang, kimia, pewarna, dan bahan baku lainnya yang ditagih dalam dolar AS mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sedangkan harga penjualan dibayar dalam rupiah.

Di sisi lain, harga penjualan kain cenderung mengalami pelemahan, karena masuknya kain impor yang cukup deras dengan harga yang relatif lebih murah. “Selain melakukan PHK, kami menutup sementara bagian pertenunan,” tuturnya.

Tiga masalah utama yang menghinggapi produsen tekstil nasional memang memaksa pelaku usaha di sektor tersebut melakukan efisiensi, termasuk mengurangi produksi, melakukan PHK, dan upaya lainnya.

Tahun lalu, dampak kenaikan upah minimum provinsi mulai terjadi, perusahaan yang tak sanggup menanggung beban itu justru memilih pemutusan hubungan kerja (PHK). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan terdapat satu perusahaan tekstil dan satu garmen yang tak sanggup membayar upah minimum provinsi sebesar Rp 2,2 juta/bulan.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menjelaskan, dua perusahaan tekstil dan garmen itu berlokasi di Tangerang, Banten. Kedua perusahaan itu memilih kebijakan pemangkasan jumlah karyawan hingga 2.300 orang. “Dua itu dari tekstil dan garmen. Perusahaan garmen (PHK) 1.400 orang, dan tekstilnya 900. Karena mereka mau relokasi. Yang satu ke Jawa Tengah dan yang satu lagi ke Jawa Barat,” katanya.

Menurut dia, sejumlah perusahaan tekstil lainnya mulai berancang-ancang PHK pekerja. “Beberapa perusahaan sudah resmi menyatakan mem-PHK karyawannya,” ungkap Ade.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mengancam sejumlah industri padat karya karena kenaikan standar upah buruh yang signifikan di berbagai daerah di Indonesia. Dua industri padat karya itu antara lain sektor tekstil dan produk tekstil serta alas kaki.

Asosiasi Pertektilan Indonesia (API) memperkirakan akan ada ribuan karyawan terkena PHK. “Garmen kita pasti akan relokasi. Tekstil akan melakukan pengurangan pekerja,” ungkap Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertektilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy kepada pers.

Dia menambahkan, asosiasi menolak keras penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 2,2 juta termasuk UMP daerah sekitarnya. “Pemberlakuan upah ini jelas akan mematikan industri padat karya. Beberapa perusahaan tekstil sudah siap untuk merumahkan ribuan karyawan karena ketidaksanggupan membayar upah sebesar Rp 2,2 juta per bulan,” ujar Emovian.

Dia mengonfirmasikan bahwa sejumlah perusahaan akan mengurangi karyawan. “Kami sudah bicara dengan beberapa perusahaan asing. Kata mereka, kurang lebih 100.000 orang akan dikurangi. Yang sudah pasti, ada perusahaan mengurangi 1.000 orang dan 600 orang. Itu sudah pasti,” ujarnya.

Menurut dia, industri padat karya selama ini mengais keuntungan yang kecil. “Pemesanan memang besar tapi marginnya kecil. Kami bayar pakai apa?” kata dia seraya menambahkan bahwa kondisi ini akan diperburuk oleh kenaikan tailf tenaga listrik dan gas.

Namun ketika di konfirmasi lebih lanjut, Ernovian enggan menyebutkan nama perusahaan yang akan mengurangi jumlah karyawannya. Menurut dia, pengurangan karyawan ditetapkan berdasarkan jabatan kerjanya masing-masing. “Karyawan di cleaning service, security, itu mulai tuh pengurangan. Kalau operator, itu yang terakhir. Dua belas mesin yang tadinya dioperasikan oleh 2 orang, sekarang 1 orang,” tegasnya.

Sekjen Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Binsar Marpaung mengatakan hal senada. Menurut dia, penetapan UMP ini otomatis akan menurunkan daya tarik investasi ke Indonesia. “Itu akan menjadi patokan investasi Eropa ke Indonesia,” ujarnya.

Aprisindo memperkirakan sekitar 600.000 pekerja di industri sepatu terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) jika rencana penghentian produksi (lock out) secara nasional terjadi. Pilihan penghentian produksi terjadi karena selama ini iklim usaha tidak kondusif menyusul tidak adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum dari pemerintah.

“Beberapa pabrik sepatu sudah tutup karena kondisi tidak kondusif. Di industri persepatuan ini jumlah total karyawannya 600.000 orang, dan itu terancam pemutusan hubungan kerja jika lock out nasional terjadi,” kata Binsar Marpaung, Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia.

Penghentian produksi secara nasional merupakan respons dari sejumlah asosiasi industri menyusul gangguan aksi buruh yang cenderung anarkis dan memblokir akses di kawasan industri. “Kami sulit memenuhi tuntutan buruh karena industri sepatu berproduksi dengan volume tinggi, tetapi marginnya tipis,” ujarnya.(Tim redaksi 01)