Latest News
You are here: Home | Tekstil | Nesia Pan Pacific Clothing Investasi Pabrik Garmen US$ 14,5 Juta
Nesia Pan Pacific Clothing Investasi Pabrik Garmen US$ 14,5 Juta

Nesia Pan Pacific Clothing Investasi Pabrik Garmen US$ 14,5 Juta

Duniaindustri.com (Januari 2016) – PT Nesia Pan Pacific Clothing, produsen garmen yang tergabung dalam Grup Pan Pacific asal Korea Selatan, merealisasikan investasi pabrik garmen senilai US$ 14,5 juta di Wonogiri, Jawa Tengah. Nesia Pan Pacific Clothing merupakan salah satu pemasok atau produsen garmen dengan merek H&M.

Peresmian pabrik baru itu dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang menggalakkan peluncuran program ‘Investasi Menciptakan Lapangan Kerja’ tahap pertama yang diluncurkan pada 5 Oktober 2015 lalu di Balaraja, Tangerang.

Nesia Pan Pacific Clothing merupakan perusahaan ke-6 dari Grup Pan Pacific, investor asal Korea Selatan, di Indonesia. Total nilai investasi yang sudah direalisasikan Grup Pan Pacific di Indonesia mencapai US$138 juta dan berkontribusi sebesar US$ 115 juta per tahun terhadap ekspor nasional.

‎”Dengan ini Pabrik PT Nesia Pan Pacific Clothing saya resmikan,” kata Jokowi saat meresmikan pabrik PT Nesia Pan Pacific Clothing di Wonogiri, Jawa Tengah.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menjelaskan, PT Nesia telah membangun 2 dari rencana 7 pabrik di Wonogiri. “Kami ‎mengapresiasi keberadaan PT Nesia di Wonogiri karena dapat menjadi penggerak pembangunan wilayah melalui penyerapan tenaga kerja maupun multiplier effect mendukung sektor ekonomi lainnya serta mengurangi arus urbanisasi ke kota-kota besar,” ujar Franky.

Nilai investasi perusahaan ini sebesar US$ 14,5 juta, dengan total rencana tenaga kerja 12.600 orang. Saat ini, 2 pabrik yang terbangun telah menyerap 1.000 orang tenaga kerja. Pabrik ini akan memproduksi 1,5 juta pakaian dengan nilai ekspor US$ 10,5 juta per tahun.

Nilai pasar industri tekstil dan produk fashion di Indonesia pada 2015 diestimasi mencapai US$ 15,19 miliar atau setara Rp 208 triliun (kurs Rp 13.700/US$), menurut perhitungan tim riset duniaindustri.com. Nilai pasar tersebut tumbuh 4,7% dibanding 2014 sebesar US$ 14,51 miliar, meski dengan pertumbuhan yang jauh lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 7,2% dibanding 2013.

Perlambatan pertumbuhan pada 2015 antara lain disebabkan pelemahan daya beli konsumen lokal menyusul depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, perlambatan perekonomian Indonesia, serta anjloknya harga komoditas dunia.

Dari nilai pasar tersebut, sekitar 20% dipasok produk impor dan 80% masih dikuasai produsen lokal, menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Produk impor sebagian besar didominasi produk ilegal yang masuk secara selundupan untuk menghindari bea masuk, sehingga harganya 40% lebih murah dibanding produk lokal.

Keunggulan Produk Lokal
Industri tekstil dan fashion di Indonesia sebenarnya memiliki keunggalan dibanding pesaing di dunia. Hal itu terlihat dari sekitar 200 merek pakaian (fashion brand) dunia diproduksi di Indonesia, seperti Zara, Adidas, Nike, The North Face, Amer Group, Salomon, Arcteryx, Calvin Klein, dan H&M.

Syaiful Bahri, Anggota Asosiasi Petekstilan Indonesia (API) bidang Data dan Informasi, menjelaskan potensi keterlibatan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk ternama di dunia akan terus bertambah. “Kemarin saya mendata sekitar 150 sampai 200 merek dunia diproduksi di Indonesia,” ujar Syaiful.

Dia menilai potensi keterlibatan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk ternama di dunia akan terus bertambah. Menurut dia, dari total produk dengan merek terkenal di dunia juga masih bisa bertambah dari total yang ada saat ini. “Yang pakai Zara, itu produk asli sini, diproduksi di Indonesia,” tambahnya.

Menurut dia, pemerintah harus terus memberikan fasilitas dan juga dorongan kepada industri tekstil yang padat karya di Indonesia. “Bagaimana pemerintah merawat industri ini, jangan temen-temen kita sudah tanam kepercayaan malah tidak berdaya karena kondisi yang tidak kondusif,” tutupnya.

Ketua Umum Asoasiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menambahkan memang banyak produk fashion ternama asal luar negeri yang diproduksi di Indonesia. Namun, daya saing produsen-produsen asal Indonesia ini masih kalah dibandingkan negara lain.

“Semua produsen dalam negeri memproduksi produk yang sama, seperti untuk H&M, tapi memiliki kualitas produk berbeda-beda, seperti soal kebersihan atau kerapihan,” ujar Ade Sudrajat.

Dia menjelaskan, produsen pakaian di Indonesia ini biasanya mendapatkan order dari perusahaan fashion tersebut untuk membuat sebuah model pakaian yang ditentukan. “Tapi itu bukan hanya di Indonesia saja, di negara lain juga ada. Jadi kalau terjadi bencana di suatu negara, negara lain bisa men-support produk yang sama, meskipun secara volume berkurang. Karena perusahaan (fashion) itu kan kelas dunia, jadi butuh dukungan produk yang banyak,” lanjutnya.

Ade mencontohkan, merek seperti Zara yang diproduksi oleh produsen Citra Busana, Bogor atau merek Van Heusen yang diproduksi Metro Garmen, Bandung. “Ada jas untuk Hugo Boss diproduksi di Bandung, Calvin Klein juga di Bandung, H&M di Jawa Tengah, atau Uniqlo ada di Tangerang dan Majalengka. Mereka dapat order,” kata Ade.

Namun, produk-produk asal Indonesia masih harus bersaing dengan produk yang diproduksi di negara lain seperti dari China atau Vietnam. “Kami belum bisa mendominasi porsi pasar mereka. Misalnya dari omzet US$ 1 juta, US$ 500 ribunya berasal dari Vietnam dan China. Padahal secara harga, kita lebih kompetitif dibandingkan dengan China,” tandas Ade.(*/tim redaksi 04)

datapedia

DIVESTAMA2 (1)

desainbagus kecil

d-store

CONTACT US BY SOCIAL MEDIA:

TwitterLogo Like-us-on-Facebook

logo slideshare google-plus-logo

watch_us_on_youtube