Latest News
You are here: Home | Elektronik | Depresiasi Rupiah Terburuk Kedua di Asia, Setelah Ringgit
Depresiasi Rupiah Terburuk Kedua di Asia, Setelah Ringgit

Depresiasi Rupiah Terburuk Kedua di Asia, Setelah Ringgit

Duniaindustri.com (Agustus 2015) – Di akhir Agustus 2015, publik kembali dihebohkan dengan fluktuasi tajam nilai tukar rupiah yang sempat menembus level tertinggi Rp 14.196/US$ pada 26 Agustus 2015, atau anjlok 26% dibanding hari yang sama tahun lalu. Saat ini, depresiasi rupiah tercatat menjadi yang terburuk nomor dua di Asia, setelah ringgit Malaysia.

Drajad Wibowo, Direktur Sustainable Development Indonesia, menilai pelemahan rupiah memang tidak bisa dihindarkan. Namun, Drajad mengkritik kebijakan pemerintah dalam mengantisipasinya sehingga rupiah jatuh di titik terendah sejak krisis 1998. “Ringgit ada krisis politik. Kita tidak ada krisis politik. Kenapa rupiah dihukum pasar? Karena pemerintah terlena,” ujar Drajad dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Menurut pandangan pasar (market insight), lanjut Drajad, pemerintah menganggap seolah-olah tidak ada persoalan ekonomi. Perilaku pemerintah itu membuat pasar meyakini pemerintah tidak melakukan apa-apa. “Jadi, masalahnya adalah kepercayaan,” ujar Drajad.

Drajad pun mencontohkan sikap dan perilaku Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo. Drajad mengatakan, mantan Menteri Keuangan ini merupakan tipe orang yang tidak mau membuang-buang uang untuk sesuatu yang tidak mungkin bisa dimenangkan.

Dia menyebutkan, Agus sudah memprediksi tidak akan menang melawan penurunan nilai mata uang. “Dari sisi otoritas moneter, perilakunya sudah terbaca pelaku pasar. Market-nya kan bukan di Jakarta, tapi pemain pasar di Singapura, Hongkong, dan Eropa,” kata Drajad.

Menanggapi depresiasi rupiah, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mengubah batas nilai maksimum pembelian valas melalui transaksi spot yang dilakukan tanpa keperluan tertentu (underlying), dari sebelumnya US$ 100.000 per bulan per nasabah atau pihak asing, menjadi sebesar US$ 25.000.

“Dengan demikian, pembelian valas di atas US$ 25.000 diwajibkan memiliki underlying transaksi berupa seluruh kegiatan perdagangan dan investasi. Selain itu, BI mengatur pula bahwa apabila nominal underlying transaksi tidak dalam kelipatan US$ 5.000, maka akan dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan US$ 5.000,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara dalam siaran pers.

Pada Senin (31 Agustus 2015), rupiah ditransaksikan di atas Rp 14.000/US$, atau melemah dibandingkan penutupan akhir pekan lalu Rp 13.982/US$, menurut data Bloomberg.com.

Dua faktor utama yang akan mempengaruhi fluktuasi rupiah antara lain devaluasi yuan serta rencana kenaikan suku bunga The Fed (Bank Sentral AS). Devaluasi yuan akan membuat harga barang ekspor China menjadi murah. Logikanya, ini akan menolong ekspor RRT tumbuh dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut. Namun, sejauh mana efektivitas dari strategi itu di tengah pelemahan ekonomi global, dan apakah justru strategi itu bisa menjadi bumerang bagi China, kita perlu mencermati lebih lanjut.

Sedangkan terkait rencana kenaikan suku bunga The Fed, salah satu yang menahan The Fed untuk segera melakukan kenaikan bunga adalah tingkat inflasi di AS yang masih rendah. Jika langkah devaluasi yuan akan menimbulkan efek deflasi, target inflasi di AS akan semakin lama tercapai. Karena itu, pada akhirnya kita harus melihat perkembangan di AS karena keputusan The Fed akan bergantung pada data. Artinya, ketidakpastian akan terjadi. Dan, semakin lama The Fed menunda kenaikan bunga, semakin tinggi ketidakpastian pasar.

Di saat yang sama, sejumlah pelaku industri di Indonesia sudah tidak mampu menahan dampak negatif pelemahan rupiah yang sempat mencapai Rp 14.196/US$. Kelesuan ekonomi yang memicu pelemahan daya beli mulai berdampak ke sektor industri. 10 industri garmen dan tekstil di Kota Tangerang terancam bangkrut dan menutup pabrik. Sebanyak 1.800 karyawan terpaksa dirumahkan.

Duniaindustri.com menilai ancaman kebangkrutan memang menghantui industri garmen yang menjual produknya di pasar lokal. Kelesuan ekonomi akan memangkas permintaan garmen di pasar domestik, sementara biaya produksi cenderung naik. Sedangkan pabrik garmen yang berorientasi ekspor masih bisa bertahan karena menikmati laba kurs, menyusul depresiasi rupiah hingga Rp 14.140/US$.(*/berbagai sumber)

iwu

datapedia