Latest News
You are here: Home | Umum | Defisit Gas bagi Industri Capai 700 MMSCFD
Defisit Gas bagi Industri Capai 700 MMSCFD

Defisit Gas bagi Industri Capai 700 MMSCFD

Duniaindustri (April 2011) – Industri nasional tahun ini masih dihantui masalah kekurangan (defisit) pasokan gas sebagai bahan bakar. Kebutuhan gas industri nasional mencapai 1.500 juta standar metrik kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD), namun yang terpenuhi hanya sekitar 800 MMSCFD.

Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi Ahmad Saifun mengatakan, sebenarnya masalah defisit pasokan gas merupakan problem klasik yang terus dihadapi pengusaha manufaktur. “Tapi setiap tahun, masalah ini kembali berulang,” ujarnya.

Forum Industri Pengguna Gas Bumi menghitung, kebutuhan gas nasional pada 2011 mencapai 2.900 MMSCFD. Tahun ini dengan pertumbuhan ekonomi ditargetkan 6%, kebutuhan gas bisa meningkat dengan angka yang sama. Tapi, pasokan melalui pipa PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) hanya sebanyak 1.500 MMSCFD. Itupun harus dikurangi dengan alokasi perusahaan BUMN yang mencapai 800-1.000 MMSCFD. Dengan demikian, jatah untuk perusahaan manufaktur tambah sedikit.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman juga mengakui keterbatasan pasokan gas untuk perusahaan makanan minuman. Penggunaan gas pada industri makanan dan minuman adalah sebesar 7% dari kebutuhan nasional. Kebutuhan gas untuk industri makanan minuman mencapai 801 MMSCFD, sementara pemerintah hanya mengalokasi sebesar 583 MMSCFD.

Forum Industri Pengguna Gas Bumi mencatat sekitar 20 sektor industri masih mengalami defisit pasokan gas. Pengusaha di sektor industri itu belum mendapat kepastian pasokan gas untuk produksi. “Dari 22 sektor industri yang membutuhkan gas, ada 326 pabrik yang tersebar di 15 provinsi,” kata Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani.

Kalangan pengusaha sudah melaporkan masalah tersebut sampai ke Wakil Presiden Boediono, namun belum ada hasil konkret untuk mengatasi problem tersebut. “Ironisnya, pemerintah dirasakan lebih utamakan peningkatan suplai gas ke Jepang. Sementara industri dalam negeri, sudah 3 tahun ini berjuang, namun belum mendapatkan kejelasan,” katanya.(Tim redaksi/03)